MAKALAH ULUMUL HADIST
PENGERTIAN
HADIST, SEJARAH IMAM BUKHARI - MUSLIM DAN MACAM-MACAM HADISTNYA
Makalah ini di ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadist
Penyusun : Herly Susanti
Semester : 1 (satu)
Prodi : S1 Tarbiyah
Dosen pengampu :
Drs. H. Abdul Halim M. SI
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)
BREBES
TAHUN AKADEMIK 2011 / 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat, inayah, taufik, dan
ilham-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Makalah ini
disusun dalam rangka untuk melaksanakan tugas dari dosen saya Bapak Drs. H.
Abdul Halim,M.SI selaku pengampu materi Ulumul Hadist.
Harapan saya semoga
makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui
masih banyak banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat
kurang. Oleh karena itu harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Bumiayu, 03 Januari 2012
Penyusun,
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL…………………………………………………………………………i
KATA
PENGANTAR………………………………………………………………………..ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………..1
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………2
Pengertian ilmu hadist,
hadist, sanad, matan…………………………………………
Pembagian hadist
Hadist shahih
Hadist hasan
Hadist dha’if
Sejarah singkat Imam Bukhari
Sejarah singkat Imam Muslim
Contoh-contoh hadist Bukhari-Muslim
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………………
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
Mushthalah Hadits
- Pada awalnya Rasulullah saw melarang para sahabat menuliskan hadits, karena dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan Al-Qur’an.
- Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alshari untuk membukukan hadits.
- Ulama yang pertama kali mengumpulkan hadits adalah Ar-Rabi Bin Shabi dan Said bin Abi Arabah, akan tetapi pengumpulan hadits tersebut masih acak (tercampur antara yang shahih dengan, dha’if, dan perkataan para sahabat.
- Pada kurun ke-2 imam Malik menulis kitab Al-Muwatha di Madinah, di Makkah Hadits dikumpulkan oleh Abu Muhammad Abdul Malik Bin Ibnu Juraiz, di Syam oleh imam Al-Auza i, di Kuffah oleh Sufyan At-Tsauri, di Bashrah oleh Hammad Bin Salamah.
- Pada awal abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab-kitab musnad, seperti musnad Na’im ibnu hammad.
- Pada pertengahan abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab shahih Bukhari dan Muslim.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Ilmu hadist, hadist, sanad,
matan.
Ilmu Hadits: ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk
mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak.
Hadits: Apa-apa yang disandarkan kepada
Rasulullah saw, berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat (lahiriyah
dan batiniyah).
Sanad: Mata rantai perawi yang
menghubungkannya ke matan.
Matan: Perkataan-perkataan yang dinukil sampai
ke akhir sanad.
PEMBAGIAN HADITS
Dilihat dari konsekuensi
hukumnya:
- Hadits Maqbul (diterima): terdiri dari Hadits shahih dan Hadits Hasan
- Hadits Mardud (ditolak): yaitu Hadits dha’if
Penjelasan:
HADITS SHAHIH:
Yaitu Hadits yang
memenuhi 5 syarat berikut ini:
- Sanadnya bersambung (telah mendengar/bertemu antara para perawi).
- Melalui penukilan dari perawi-perawi yang adil.Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan (contoh-contoh kefasikan dan rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid’ah, termasuk diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik).
- Tsiqah (yaitu hapalannya kuat).
- Tidak ada syadz. Syadz adalah seorang perawi yang tsiqah menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya.
- Tidak ada illat atau kecacatan dalam Hadits
Hukum Hadits shahih:
dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.
HADITS HASAN:
Yaitu Hadits yang apabila
perawi-perawinya yang hanya sampai pada tingkatan shaduq (tingkatannya berada
di bawah tsiqah).
Shaduq: tingkat
kesalahannya 50: 50 atau di bawah 60% tingkat ke tsiqahannya. Shaduq bisa
terjadi pada seorang perawi atau keseluruhan perawi pada rantai sanad.
Para ulama dahulu
meneliti tingkat ketsiqahan seorang perawi adalah dengan memberikan ujian,
yaitu disuruh membawakan 100 hadits berikut sanad-sanadnya. Jika sang perawi
mampu menyebutkan lebih dari 60 hadits (60%) dengan benar maka sang perawi
dianggap tsiqah.
Hukum Hadits Hasan: dapat
diamalkan dan dijadikan hujjah.
HADITS HASAN SHAHIH
Penyebutan istilah Hadits
hasan shahih sering disebutkan oleh imam Tirmidzi. Hadits hasan shahih dapat
dimaknai dengan 2 pengertian:
- Imam Tirmidzi mengatakannya karena Hadits tersebut memiliki 2 rantai sanad/lebih. Sebagian sanad hasan dan sebagian lainnya shahih, maka jadilah dia Hadits hasan shahih.
- Jika hanya ada 1 sanad, Hadits tersebut hasan menurut sebagian ulama dan shahih oleh ulama yang lainnya.
HADITS MUTTAFAQQUN ‘ALAIHI
Yaitu Hadits yang sepakat
dikeluarkan oleh imam Bukhari dan imam Muslim pada kitab shahih mereka
masing-masing.
TINGKATAN HADITS SHAHIH
- Hadits muttafaqqun ‘alaihi
- Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Bukhari saja
- Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Muslim saja
- Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim, serta tidak dicantumkan pada kitab-kitab shahih mereka.
- Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari
- Hadits yang sesuai dengan syarat Muslim
- Hadits yang tidak sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim
Syarat Bukhari dan
Muslim: perawi-perawi yang dipakai adalah perawi-perawi Bukhari dan Muslim
dalam shahih mereka.
HADITS DHA’IF
Hadits yang tidak
memenuhi salah satu/lebih syarat Hadits shahih dan Hasan.
Hukum Hadits dha’if:
tidak dapat diamalkan dan tidak boleh meriwayatkan Hadits dha’if kecuali dengan
menyebutkan kedudukan Hadits tersebut. Hadits dha’if berbeda dengan hadits
palsu atau hadits maudhu`. Hadits dha’if itu masih punya sanad kepada
Rasulullah SAW, namun di beberapa rawi ada dha`f atau kelemahan. Kelemahan ini
tidak terkait dengan pemalsuan hadits, tetapi lebih kepada sifat yang dimiliki
seorang rawi dalam masalah dhabit atau al-`adalah. Mungkin sudah sering lupa
atau ada akhlaqnya yang kurang etis di tengah masyarakatnya. Sama sekali tidak
ada kaitan dengan upaya memalsukan atau mengarang hadits.
Yang harus dibuang
jauh-jauh adalah hadits maudhu`, hadits mungkar atau matruk. Dimana hadits itu
sama sekali memang tidak punya sanad sama sekali kepada Rasulullah saw. Walau
yang paling lemah sekalipun. Inilah yang harus dibuang jauh-jauh. Sedangkan
kalau baru dha`if, tentu masih ada jalur sanadnya meski tidak kuat. Maka
istilah yang digunakan adalah dha`if atau lemah. Meski lemah tapi masih ada
jalur sanadnya.
Karena itulah para ulama
berbeda pendapat tentang penggunaan hadits dha`if, dimana sebagian membolehkan
untuk fadha`ilul a`mal. Dan sebagian lagi memang tidak menerimanya. Namun menurut
iman An-Nawawi dalam mukaddimahnya, bolehnya menggunakan hadits-hadits dha’if
dalam fadailul a’mal sudah merupakan kesepakatan para ulama.
Untuk tahap lanjut
tentang ilmu hadits, silakan merujuk pada kitab “Mushthalahul Hadits”
Buat kita orang-orang yang
awam dengan ulumul hadits, tentu untuk mengetahui derajat suatu hadits bisa
dengan bertanya kepada para ulama ahli hadits. Sebab merekalah yang punya
kemampuan dan kapasitas dalam melakukan penelusuran sanad dan perawi suatu
hadits serta menentukan derajatnya.
Setiap hadits itu harus ada alur sanadnya dari perawi terakhir hingga kepada Rasulullah SAW. Para perawi hadits itu menerima hadits secara berjenjang, dari perawi di atasnya yang pertama sampai kepada yang perawi yang ke sekian hingga kepada Rasulullah SAW.
Setiap hadits itu harus ada alur sanadnya dari perawi terakhir hingga kepada Rasulullah SAW. Para perawi hadits itu menerima hadits secara berjenjang, dari perawi di atasnya yang pertama sampai kepada yang perawi yang ke sekian hingga kepada Rasulullah SAW.
Seorang ahli hadits akan
melakukan penelusuran jalur periwayatan setiap hadits ini satu per satu,
termasuk riwayat hidup para perawi itu pada semua level / tabaqathnya. Kalau
ada cacat pada dirinya, baik dari sisi dhabit (hafalan) maupun `adalah-nya
(sifat kepribadiannya), maka akan berpengaruh besar kepada nilai derajat hadits
yang diriwayatkannya.
Sebuah hadits yang
selamat dari semua cacat pada semua jalur perawinya hingga ke Rasulullah SAW,
dimana semua perawi itu lolos verifikasi dan dinyatakan sebagai perawi yang
tisqah, maka hadits itu dikatakan sehat, atau istilah populernya shahih.
Sedikit derajat di bawahnya disebut hadits hasan atau baik. Namun bila ada
diantara perawinya yang punya cacat atau kelemahan, maka hadits yang sampai
kepada kita melalui jalurnya akan dikatakan lemah atau dha`if.
Para ulama mengatakan
bila sebuah hadits lemah dari sisi periwayatannya namun masih tersambung kepada
Rasulullah SAW, masih bisa dijadikan dalil untuk bidang fadhailul a`mal, atau
keutamaan amal ibadah.
Sedangkan bila sebuah
hadits terputus periwayatannya dan tidak sampai jalurnya kepada Rasulullah SAW,
maka hadits ini dikatakan putus atau munqathi`. Dan bisa saja hadits yang
semacam ini memang sama sekali bukan dari Rasulullah SAW, sehingga bisa dikatakan
hadits palsu atau maudhu`. Jenis hadits yang seperti ini sama sekali tidak
boleh dijadikan dasar hukum dalam Islam.
Untuk mengetahui apakah
sebuah hadits itu termasuk shahih atau tidak, bisa dilihat dalam kitab susunan
Imam Al-Bukhari yaitu shahih Bukhari atau Imam Muslim yaitu shahih muslim.
Untuk hadits-hadits dha’if juga bisa dilihat pada kitab-kitab khusus yang
disusun untuk membuat daftar hadits dha’if.
Di masa sekarang ini,
para ulama yang berkonsentrasi di bidang hadits banyak yang menuliskannya, seperti
karya-karya Syaikh Nashiruddin Al-Albani. Di antaranya kitab Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shahihah yang berjumlah 11 jilid.
SEJARAH SINGKAT IMAM BUKHARI
Kelahiran dan Masa Kecil Imam Bukhari
Imam Bukhari (semoga
Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya
adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin
Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama
Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H
(21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama
Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan
Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan
keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena
buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut).
Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah,
dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara
total.
Imam Bukhari adalah ahli
hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama
dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah.
Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki
derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil
Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir
semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Tempat beliau lahir kini
termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu
pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang
telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan
ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain,
juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah
kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal
Lemercier Quelquejay dalam bukunya “Islam in the Sivyet Union” (New York,
1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang
pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan,
India dan Cina.
SEJARAH SINGKAT IMAM MUSLIM
Imam Muslim dilahirkan di
Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul
Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi.
Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala
itu termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya daerah-daerah yang
terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti
Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih
kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga
Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat
peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam
Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah
berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar
hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau
dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika
berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli
hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits
Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah
menyebutkan periwayatan hadits.
Selain kepada Ad Dakhili,
Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat
dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari
silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak,
Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak
bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada
mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin
Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di
Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah;
di Hijaz beliau belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas ‘Abuzar; di Mesir
beliau berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli
hadits lainnya.
Bagi Imam Muslim, Baghdad
memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk
belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau
lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim
sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat
itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits
ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah
atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada Bukhari.
Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam
Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah
ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan hadits-hadits Nabi SAW.
Imam Muslim dalam kitab
shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang
diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau
lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain
kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima
dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka
sebagai gurunya.
Imam Muslim yang dikenal
sangat tawadhu’ dan wara’ dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu
hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas
Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih
Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan
pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam
Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim
tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan
pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil
dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring
hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai metode
penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan
ta’dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu
hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan
riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan
kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan
kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam Muslim menjadi orang
kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya)
setelah Imam Bukhari. “Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang
hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim,” komentar
ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah
ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.
CONTOH-CONTOH HADIST
BUKHARI MUSLIM
Bab : Boleh memakai sutera bagi orang
yang gatal-gatal
1345. Anas bin Malik telah memberitakan
kepada mereka, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan
dispensasi (keringanan) kepada Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam untuk
mengenakan pakaian sutera dalam perjalanan karena adanya penyakit gatal-gatal
atau penyakit lain yang menimpa mereka berdua.(Bukhari, Muslim).
أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ أَنْبَأَهُمْ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَالزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ فِي الْقُمُصِ الْحَرِيرِ فِي السَّفَرِ مِنْ حِكَّةٍ كَانَتْ بِهِمَا أَوْ وَجَعٍ كَانَ بِهِمَا
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَالزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ فِي الْقُمُصِ الْحَرِيرِ فِي السَّفَرِ مِنْ حِكَّةٍ كَانَتْ بِهِمَا أَوْ وَجَعٍ كَانَ بِهِمَا
Bab : Haram memakai cincin emas dan sutera bagi
laki-laki
1342.
Ali r.a. berkata: Nabi
saw.memberiku hadiah kain dari sutra, lalu aku memakainya, tiba-tiba aku
melihat kemarahan di wajah Nabi saw., lalu aku bagi-bagikan kepada
istriku. (Bukhari, Muslim)
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
أَهْدَى إِلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُلَّةَ سِيَرَاءَ فَلَبِسْتُهَا فَرَأَيْتُ الْغَضَبَ فِي وَجْهِهِ فَشَقَقْتُهَا بَيْنَ نِسَائِي
أَهْدَى إِلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُلَّةَ سِيَرَاءَ فَلَبِسْتُهَا فَرَأَيْتُ الْغَضَبَ فِي وَجْهِهِ فَشَقَقْتُهَا بَيْنَ نِسَائِي
Bab : Haram
memakai cincin emas dan sutera bagi laki-laki
1341. Usman An-Nahdi berkata: Telah
datang kepada kami surat Umar yang dibawa oleh Utbah bin Farqad di Azrabijan
yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. telah melarang memakai sutra kecuali
selebar dua jari (telunjuk dan tengah). Abu Usman An-Nahdi berkata: Yang kami
ketahui maksudnya untuk tanda. (Bukhari, Muslim)
Rasulullah saw. telah melarang memakai sutra.
Bab : Haram memakai cincin emas dan sutera
bagi laki-laki
1340. Abdullah bin Umar r.a. berkata: Umar bin Khatab r.a.
melihat perhiasan sutra dijual di muka pintu masjid, kemudian ia berkata:
Ya Rasulullah, andaikan engkau membeli itu untuk engkau pakai hari Jumat dan
ketika menerima utusan jika datang kepadamu. Maka Nabi saw. bersabda:
Sesungguhnya yang memakai itu hanyalah orang yang tidak mendapat bagian di
akhirat. Kemudian tidak lama Nabi saw. mendapat beberapa perhiasan sutra,
maka beliau memberi satu kepada Umar bin Khatab r.a., dan Umar r.a.
berkata: Ya Rasulullah, engkau memberiku pakaian itu sesudah engkau
bicara demikian terhadap perhiasan utharid. Maka Sabda Nabi saw.: Aku
tidak memberi kepadamu itu supaya engkau pakai. Maka oleh Umar diberikan
kepada saudaranya yang masih kafir di Makkah. (Bukhari, Muslim)
Bab : Haram memakai cincin emas dan sutera
bagi laki-laki
1339.Abdurrahman bin Abi Laila berkata: Kami
berada di tempat Hudzaifah. Hudzaifah minta minum lalu diberi minum oleh pembesar
negeri itu dalam bejana perak. Maka bejana itu dilemparkan oleh Hudzaifah
seraya berkata: Ku kabarkan kepadamu bahwa aku telah memerintahkan
kepadanya untuk tidak memberiku minum dalam bejana perak. Karena sesungguhnya
Rasulullah saw. telah bersabda: Jangan minum dalam bejana emas atau
perak, dan jangan memakai sutera kembang atau sutera biasa, karena
barang-barang itu untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia, dan untuk kamu
kelak di akhirat. (Bukhari, Muslim).
Bab : Haram memakai cincin emas dan sutera
bagi laki-laki
1338. Al Bara’ bin ‘Azib r.a. berkata: Nabi
saw. memerintahkan kami tentang tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh
perkara pula. Beliau memerintahkan kami untuk; mengiringi jenazah, menjenguk
orang yang sakit, memenuhi undangan, menolong orang yang dizhalimi, berbuat
adil dalam pembagian, menjawab salam dan mendoakan orang yang bersin. Dan
Beliau melarang kami dari menggunakan bejana terbuat dari perak, memakai cincin
emas, memakai kain sutera kasar, sutera halus, baju berbordir sutera dan sutera
tebal. (Bukhari, Muslim).
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَمَرَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ وَنَهَانَا عَنْ سَبْعٍ أَمَرَنَا بِاتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ وَعِيَادَةِ الْمَرِيضِ وَإِجَابَةِ الدَّاعِي وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ وَإِبْرَارِ الْقَسَمِ وَرَدِّ السَّلَامِ وَتَشْمِيتِ الْعَاطِسِ وَنَهَانَا عَنْ آنِيَةِ الْفِضَّةِ وَخَاتَمِ الذَّهَبِ وَالْحَرِيرِ وَالدِّيبَاجِ وَالْقَسِّيِّ وَالْإِسْتَبْرَقِ
Bab : Haram memakai cincin emas dan sutera
bagi laki-laki
1337. Dari Ummu Salamah r.a., Rasulullah saw.
bersabda: Orang yang minum dari bejana yang terbuat dari perak, sebenarnya
ia menuangkan api neraka Jahanam ke dalam perutnya. (Bukhari, Muslim).
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الَّذِي يَشْرَبُ فِي إِنَاءِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الَّذِي يَشْرَبُ فِي إِنَاءِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ
Bab : Firman Alloh
kepada Adam : “keluarkan utusan neraka, dari tiap seribu, sembilan ratus
Sembilan puluh Sembilan.”
133. Abu Sa’id Al Khudriy r.a.
berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Wahai Adam,
“. Nabi Adam ‘Alaihissalam menjawab: “Labbaika, kemuliaan milik-Mu dan segala
kebaikan berada di tangan-Mu”. Kemudian Allah berfirman: “Keluarkanlah utusan
neraka”. Adam bertanya; “Apa yang dimaksud dengan utusan neraka? (berapa
jumlahnya?) “. Allah berfirman: “Dari setiap seribu, sembilan ratus sembilan
puluh Sembilan dijebloskan neraka!, Ketika perintah ini diputuskan, maka
anak-anak belia menjadi beruban, dan setiap wanita hamil kandungannya
berguguran dan kamu lihat manusia mabuk padahal mereka tidaklah mabuk akan
tetapi (mereka melihat) siksa Allah yang sangat keras”. (QS. Alhajj 2), Para
shahabat bertanya; “Wahai Rasulullah, adakah diantara kami seseorang yang
selamat?”. Beliau bersabda: “Bergembiralah, karena setiap seribu yang
dimasukkan neraka, dari kalian cuma satu, sedang Sembilan ratus sembilan puluh
sembilannya dari Ya’juj dan ma’juj”. Kemudian Beliau bersabda: “Dan demi Dzat
yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku berharap kalian menjadi di antara
seperempat ahlu surga”. Maka kami bertakbir. Kemudian Beliau bersabda lagi:
“Aku berharap kalian menjadi di antara sepertiga ahlu surga”. Maka kami
bertakbir lagi. Kemudian Beliau bersabda lagi: “Aku berharap kalian menjadi di
antara setengah ahlu surga”. Maka kami bertakbir sekali lagi. Lalu Beliau
bersabda: “Tidaklah keberadan kalian di hadapan manusia melainkan bagaikan bulu
hitam pada kulit sapi jantan putih atau bagaikan bulu putih yang ada pada kulit
sapi jantan hitam”. (Bukhari, Muslim).
Bab : Adanya
sebagian orang muslim yang masuk surga tanpa hisab
132.
Abdullah bin Mas’ud r.a.
berkata: Kami bersama Nabi saw. di dalam gubah (kemah), tiba-tiba Nabi saw.
bertanya : Apakah kalian rela bila kalian merupakan seperempat ahli
surga? Jawab kami, Ya. Lalu Nabi saw. bertanya lagi : Apakah kalian
rela bila kalian menjadi sepertiga penduduk surga? Jawab kami, Ya.
Lalu Nabi saw. bertanya lagi : Apakah puas bila kalian menjadi separuh penduduk
surga? Jawab kami, Ya. Lalu Nabi saw. bersabda: Demi Allah
yang jiwa Muhammad di tanganNya, sungguh aku berharap semoga kamu merupakan
sepenuh penduduk surga, dan tidak akan dapat masuk surga kecuali jiwa yang
muslim, sedang kalian jika dibandingkan dengan pemeluk kesyirikan bagaikan
sehelai rambut putih di tengah kulit sapi hitam. (Bukhari, Muslim).
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ فِي قُبَّةٍ فَقَالَ أَتَرْضَوْنَ أَنْ تَكُونُوا رُبُعَ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْنَا نَعَمْ قَالَ أَتَرْضَوْنَ أَنْ تَكُونُوا ثُلُثَ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْنَا نَعَمْ قَالَ أَتَرْضَوْنَ أَنْ تَكُونُوا شَطْرَ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْنَا نَعَمْ قَالَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ تَكُونُوا نِصْفَ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَذَلِكَ أَنَّ الْجَنَّةَ لَا يَدْخُلُهَا إِلَّا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ وَمَا أَنْتُمْ فِي أَهْلِ الشِّرْكِ إِلَّا كَالشَّعْرَةِ الْبَيْضَاءِ فِي جِلْدِ الثَّوْرِ الْأَسْوَدِ..
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ilmu Hadits: ilmu yang membahas kaidah-kaidah
untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak.
Pembagian hadist : hadist
shahih, hasan, dha’if.
Macam-macam hadist Bukhari-Muslim:
1.
Boleh memakai sutera bagi orang yang gatal-gatal
2.
Haram memakai cincin emas dan
sutera bagi laki-laki
3.
Memakai wadah emas dan perak untuk
makan dan minum
4.
Firman Alloh kepada Adam : “keluarkan utusan neraka, dari tiap seribu,
Sembilan ratus Sembilan puluh Sembilan.”
5.
Adanya sebagian orang muslim yang masuk surga tanpa hisab.
SARAN
Harapan saya semoga
makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui
masih banyak banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat
kurang. Oleh karena itu harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://bukharimuslim.wordpress.com/sejarah-singkat-imam-muslim/
0 komentar:
Posting Komentar