Islam merupakan agama dengan pemeluk
terbesar di Indonesia. Hal tersebut tidak terlepas dari usaha para juru dakwah
agama Islam dalam melakukan islamisasi di Indonesia. Islamisasi adalah
istilah umum yang biasa dipergunakan untuk menggambarkan proses persebaran
Islam di Indonesia pada periode awal (abad 7-13 M), terutama menyangkut waktu
kedatangan, tempat asal serta para pembawanya, yang terjadi tidak secara
sistematis dan terencana. Inilah definisi islamisasi yang dimaksud
dalam tulisan ini. Metodologi tulisan ini sepenuhnya merupakan penelitian
kepustakaan (library research). Di sini penulis akan mencoba menguraikan
beberapa pandangan mengenai teori Islamisasi di Indonesia secara
deskriptif-analitis. Pembahasan mengenai masuknya Islam ke Indonesia sangat
menarik terkait dengan banyaknya perbedaan pendapat di kalangan sejarawan.
Masing-masing pendapat menggunakan berbagai sumber, baik dari arkeologi,
beberapa tulisan dari berbagai sumber. Ada tiga pendapat tentang waktu masuknya
Islam di Nusantara yaitu :
- Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke 7:
- Seminar masuknya islam di Indonesia (di Aceh) sebagian dasar adalah catatan perjalanan Al mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
- Seminar mengenai Masuknya Islam ke indonesia di medan pada Ahad 21-24 Syawal 1382 H (17-20 maret 1963 H) yang salah satu kesimpulannya adalah Islam telah masuk ke Indonesia langsung dari Arab.
- Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di sumatera dalam perjalannya ke China.
- Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M.
- Prof. Sayed Naguib Al Attas dalam Preliminary Statemate on General Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), di dalamnya mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M.
- Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to Malaysia mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah masuk ke Malaya.
- Prof. S. muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnya berjudul Islam di India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
- W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese sources, menjelaskan bahwa pada Hikayat Dinasti T’ang memberitahukan adanya Aarb muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun 674). (Ta Shih = Arab Muslim).
- T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M).
- Islam Masuk Ke Indonesia pada Abad ke-11:
- Satu-satunya sumber ini adalah diketemukannya makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik, yaitu makam Fatimah Binti Maimun dan rombongannya. Pada makam itu terdapat prasati huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun (dimasehikan 1082)
- Islam Masuk Ke Indonesia Pada Abad Ke-13:
- Catatan perjalanan Marcopolo, menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam Ferlec (mungkin Peureulack) di Aceh, pada tahun 1292 M.
- K.F.H. van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut adanya kerajaan Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.
- J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit hindoesten, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13.
- Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern; C. Snouck Hurgronje; dan Schrieke, lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13.
- Pendapat ini juga disampaikan oleh N.H. Krom dan Van Den Berg. Namun, pendapat ini memperoleh sanggahan dari : H. Agus Salim, M. Zainal Arifin Abbas, Sayeg Alwi bin Tahir Alhada, H.M Zainuddin, Hamka, Djuned Parinduri, T.W. Arnold yang berpendapat Islam masuk ke Indonesia telah dimulai sejak abad ke-7 M.
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh
Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur
Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar:
Pertama, teori
Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran
para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M.
Kedua, teori Mekkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia
langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad
ke-7 M.
Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran
para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum
ke nusantara sekitar abad ke-13 M.
Jika
teori tersebut ditelaah lebih jauh, pendapat yang muncul akan cukup beragam.
Bahkan beberapa diantaranya ada yang menyatakan bahwa Islam berasal dari Cina.
Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia
berasal dari anak benua India, misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata
mengenai wilayah Gujarat. Pendapat Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck
Hurgronje, J.P. Moquette, E.O. Winstedt, B.J.O. Schrieke, dan lain-lainnya tersebut
ternyata berbeda dengan yang dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan G.E. Morison.
Pijnapel, seorang ahli Melayu dari
Universitas Leiden, Belanda, mengemukakan teori ini pada tahun 1872. Menurut
Azyumardi Azra teori ini diambil dari terjemahan Perancis tentang catatan
perjalanan Sulaiman, Marco polo dan Ibnu Battutah. Kesimpulan catatan Sulaiman
menyebutkan bahwa Islam di Asia Tenggara dikembangkan oleh orang-orang Arab
yang bermazhab Syafii dari Gujarat dan Malabar di India. Oleh karena itu,
menurut teori ini, Nusantara menerima Islam dari India. Kenyataan bahwa
Islam di Nusantara berasal dari India menurut teori ini tidak menunjukkan
secara meyakinkan dilihat dari segi pembawanya. Sebagaimana dikemukakan
Pijnapel, bahwa Islam di Nusantara berasal dari orang-orang Arab yang bermazhab
Syafii yang bermigrasi ke Gujarat dan Malabar. Pijnappel sebenarnya memandang
bahwa Islam di Nusantara disebarkan oleh orang-orang Arab. Pandangan ini cukup
memberikan pengertian bahwa pada hakekatnya penyebar Islam di Nusantara adalah
orang-orang Arab yang telah bermukim di India. Penjelasan ini didasarkan pada
seringnya kedua wilayah India dan Nusantara ini disebut dalam sejarah Nusantara
klasik. Dalam penjelasan lebih lanjut, Pijnapel menyampaikan logika terbalik,
yaitu bahwa meskipun Islam di Nusantara dianggap sebagai hasil kegiatan
orang-orang Arab, tetapi hal ini tidak langsung datang dari Arab, melainkan
dari India, terutama dari pesisir barat, dari Gujarat dan Malabar. Jika logika
ini dibalik, maka dapat dinyatakan bahwa meskipun Islam di Nusantara berasal
dari India, sesungguhnya ia dibawa oleh orang-orang Arab.
Pendukung lain teori ini adalah Snouck Hurgronje. Ia
berpendapat bahwa, ketika Islam telah mengalami perkembangan dan cukup kuat di
beberapa kota pelabuhan di anak benua India, sebagian kaum Muslim Deccan
tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah
dengan Nusantara. Orang-orang Deccan inilah, kata Hurgronje, datang ke dunia
Melayu-Indonesia sebagai penyebar Islam pertama. Orang-orang Arab menyusul
kemudian pada masa-masa selanjutnya. Hubungan perdagangan Timur Tengah dan
Nusantara menjadi entry point untuk melihat kehadiran Islam di
Nusantara. Tetapi karena secara geografis, anak benua India berada di antara
Nusantara dan Timur Tengah, maka dapat dipastikan bahwa sebagian padagang
Muslim Arab dan juga Persia singgah terlebih dahulu di India sebelum mencapai
Nusantara. Kenyataan ini tentu tidak diabaikan Hurgronje, hanya saja ia
menekankan peran bangsa India dalam penyebaran Islam di Nusantara. Mengenai
waktu kedatangannya, Hurgronje tidak menyebutkan secara pasti. Ia juga tidak
menyebutkan secara pasti wilayah mana di India yang dipandang sebagai tempat
asal datangnya Islam di Nusantara. Ia hanya memberikan prediksi waktu, yakni
abad ke-12 sebagai periode yang paling mungkin sebagai awal penyebaran Islam di
Nusantara. Dari segi metodologi sejarah, ketidakpastian tentang waktu dan
tempat adalah kesalahan fundamental, sehingga argumentasi Hurgronje terlalu
lemah, untuk tidak mengatakan keliru.
Dukungan yang cukup argumentatif atas teori India
disampaikan oleh W.F. Stutterheim. Ia menjawab aspek-aspek mendasar dalam
sejarah, tentang di mana (ruang) dan kapan (waktu). Dengan jelas, ia
menyebutkan Gujarat sebagai negeri asal Islam yang masuk ke Nusantara.
Pendapatnya didasarkan pada argumen bahwa Islam disebarkan melalui jalur dagang
antara Nusantara Cambay (Gujarat) Timur Tengah Eropa. Argumentasi ini diperkuat
dengan pengamatannya terhadap nisan-nisan makam Nusantara yang diperbandingkan
dengan nisan-nisan makam di wilayah Gujarat. Relief nisan Sultan pertama dari
kerajaan Samudera (Pasai), al-Malik al-Saleh (1297 H), menurut pengamatan
Stutterheim, bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang
terdapat di Gujarat. Kenyataan ini cukup memberikan keyakinan pada dirinya
bahwa Islam datang ke Nusantara dari Gujarat. Demikian ia menjelaskan aspek
ruang kedatangan Islam ke Nusantara. Penjelasan ini cukup argumentatif dan
didukung data yang memadai, tetapi Stutterheim tidak memperhatikan proses
Islamisasi di Gujarat. Sebagaimana dijelaskan Marison, wilayah ini baru
diislamkan satu tahun setelah wafatnya sang Sultan, yaitu pada 1298 M. Pada
saat bersamaan penyebaran masyarakat Islam pada periode tersebut, ketika bangsa
Mongol melebarkan ekspansinya (Bagdad ditaklukan pada 1258 M), mereka mulai
mencari daerah baru bagi kehidupan mereka. Seandainya Stutterheim menyebutnya
sebagai proses lebih lanjut dari Islamisasi Nusantara, misalnya perkembangan
Islam pada abad 14-16, bisa jadi Gujarat ikut andil memberikan pengaruhnya di
Nusantara mengingat daerah itu (Gujarat) lebih dekat secara geografis ke
wilayah Nusantara. Walaupun terdapat kekurangan, teori yang dikemukakan
Stutterheim mendapat dukungan dari Moquette, sarjana asal Belanda.
Penelitian Moquette terhadap bentuk batu nisan
membawanya pada kesimpulan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat.
Moquette menjelaskan bahwa bentuk batu nisan, khususnya di Pasai mirip dengan
batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim (822 H/1419 M) di Gresik Jawa
Timur. Sedangkan bentuk batu nisan di kedua wilayah itu sama dengan batu nisan
yang terdapat di Cambay (Gujarat). Kesamaan bentuk pada nisan-nisan tersebut
meyakinkan Moquette bahwa batu nisan itu diimpor dari India. Dengan demikian,
Islam di Indonesia, menurutnya, berasal dari India, yaitu Gujarat. Teori ini
kemudian dikenal juga dengan teori batu nisan.
Teori lainnya yang menjelaskan bahwa Islam berasal dari anak
benua India dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan dikemukakan pula oleh Tome Pires.
Ada beberapa alasan mengapa kedua tokoh ini berkeyakinan bahwa Islam berasal
dari Benggal (Bangladesh sekarang). Tome Pires berpendapat bahwa
kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan
mereka. Pendapat ini disetujui oleh Fatimi. Bahkan lebih jauh Fatimi
menjelaskan, bahwa Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya adalah dari
arah timur pantai, bukan dari barat Malaka, melalui Kanton, Pharang (Vietnam),
Leran dan Trengganu. Proses awal Islamisasi ini, menurutnya, terjadi pada abad
ke-11 M. Masa ini dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan seorang Muslimah
bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H atau 1082 M di Leran
Gresik. Menurut M.C. Ricklef, ini adalah nisan kuburan Muslim tertua yang masih
dapat ditemukan di wilayah ini. Berkenaan dengan teori batu nisan dari
Stutterheim dan Moquette yang menyatakan Islam di Nusantara berasal dari India,
Fatimi menentang keras pendapat ini. Menurutnya, bahwa menghubungkan seluruh
batu nisan di Pasai dengan batu nisan dari Gujarat adalah suatu tindakan yang
keliru. Berdasarkan hasil pengamatannya, Fatimi menyatakan, bentuk dan gaya
batu nisan al-Malik al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Ia
berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan itu mirip dengan batu nisan yang ada di
Benggal. Oleh karena itu, batu nisan tersebut pasti didatangkan dari Benggal,
bukan dari Gujarat. Analisis ini dipergunakan Fatimi untuk membangun teorinya
yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Benggal. Tetapi terdapat
kelemahan substansial pada Fatimi, bahwa perbedaan mazhab fikih yang dianut
muslim Nusantara, yaitu para pengikut mazhab Syafii dengan para pengikut mazhab
Hanafi tidak menjadi perhatiannya. Perbedaan mazhab fikih ini menjadikan teori
Fatimi lemah dan tidak cukup kuat diyakini kebenarannya.
Marison, dengan penjelasannya yang lebih komprehensif,
mengidentifikasi Coromandel atau Malabar sebagai daerah asal Islam di Nusantara
dan itu terjadi pada akhir abad ke 13 M. Ia tidak membangun teorinya
berdasarkan kemiripan batu nisan yang terdapat di beberapa tempat di Nusantara
dengan yang ada di Gujarat, atau bahkan di Benggal Menurutnya, kemiripan
tersebut tidak harus menunjukkan bahwa Islam Nusantara datang dari
daerah-daerah tersebut. Argumentasi yang diajukannya dibangun berdasarkan
riwayat Melayu dan laporan Marcopolo. Menurut berita-berita tersebut, ketika
raja Pasai pertama wafat tahun 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan kerajaan
Hindu. Cambay, Gujarat baru ditaklukan penguasa Muslim satu tahun kemudian pada
699 H/1298 M. Sebelum Marison mengemukakan pandangan ini, Arnold telah
menyebutkan hal serupa. Marison, dengan demikian, memperkuat pendapat Arnold
yang menyebutkan bahwa Coromandel dan Malabar merupakan daerah asal kedatangan
Islam ke Nusantara. Arnold mengemukakan pendapatnya berdasarkan kesaksian Ibnu
Battutah ketika mengunjungi kawasan ini pada abad ke-14 dan juga didasarkan
pada kesamaan mazhab fikih di antara keduanya, yaitu Syafiï.
Sedangkan tentang teori bahwa Islam Indonesia berasal
langsung dari Mekkah antara lain dikemukakan oleh Crawfurd (1820), Keyzer
(1859), Nieman (1861), de Hollander (1861), dan Verth (1878). Tokoh dari Asia
Tenggara, termasuk Indonesia yang mendukung teori ini di antaranya Hamka, A.
Hasymi, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Al-Attas sebagai tokoh pendukung teori ini menyebutkan,
bahwa aspek-aspek atau kerakteristik internal Islam harus menjadi perhatian
penting dan sentral dalam melihat kedatangan Islam di Nusantara, bukan
unsur-unsur luar atau aspek eksternal. Karakteristik ini dapat menjelaskan
secara gamblang mengenai bentuk Islam yang berkembang di Nusantara. Lebih
lanjut Al-Attas menjelaskan bahwa penulis-penulis yang diidentifikasi sebagai
India dan kitab-kitab yang dinyatakan berasal dari India oleh sarjana Barat
khususnya, sebenarnya adalah orang Arab dan berasal dari Arab atau Timur Tengah
atau setidaknya Persia. Sejalan dengan hal ini, Hamka menyebutkan pula bahwa
kehadiran Islam di Indonesia telah terjadi sejak abad ke-7 dan berasal dari
Arabia sedangkan T.W. Arnold dan Crawford lebih didasarkan pada beberapa fakta
tertulis dari beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu
kekuatan Islam telah menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, bahwa
ternyata di pesisir pantai Sumatera telah ada komunitas muslim yang terdiri
dari pedagang asal Arab yang di antaranya melakukan pernikahan dengan
perempuan-perempuan lokal. Pendapat ini didasarkan pada berita Cina yang
menyebutkan, bahwa pada abad ke-7 terdapat sekelompok orang yang disebut
Ta-shih yang bermukim di Kanton (Cina) dan Fo-lo-an (termasuk daerah Sriwijaya)
serta adanya utusan Raja Ta-shih kepada Ratu Sima di Kalingga Jawa (654/655 M).
Sebagian ahli menafsirkan Ta-shih sebagai orang Arab. Mengenai Raja Ta-shih
tersebut, menurut Hamka, adalah Muawiyah bin Abu Sufyan yang saat itu menjabat
sebagai Khalifah Daulah Bani Umayyah. Untuk meyakinkan asal usul Islam di
Nusantara, seminar seputar masalah ini telah digelar beberapa kali. Seminar
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia telah diselenggarakan di Medan 17-20
Maret 1969 dan seminar serupa juga diadakan di Aceh pada 10-16 Juli 1978 dan
25-30 September 1980. Berdasarkan hasil seminar-seminar tersebut, disimpulkan
bahwa Islam masuk ke Nusantara langsung dari Arabia, bukan India. Hasil seminar
ini memperkuat teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Arab sebagaimana
ditegaskan Al-Attas dan didukung oleh sejarawan Indonesia, seperti Hamka dan
Muhammad Said. Kehadiran orang-orang Islam yang berasal dari Timur Tengah ke
Nusantara(kebanyakan adalah dari Arab dan Persia) menurut Azyumardi Azra, ahli
Islam di Asia Tenggara, terjadi pada abad ke-7. Masa-masa awal kehadiran Islam
pertama kali dilaporkan oleh seorang agamawan dan pengembara terkenal dari
Cina, bernama I-Tsing. Ia menginformasikan bahwa pada 51 H/671 M, ia menumpang
kapal Arab dan Persia untuk berlayar dari Kanton dan berlabuh di pelabuhan
muara sungai Bhoga, yang disebut juga Sribhoga atau Sribuza, yaitu Musi
sekarang. Banyak sarjana modern mengidentifikasi Sribuza sebagai Palembang,
ibukota kerajaan Budha Sriwijaya pada masa itu. Menurut Yuantchao kapal yang
sampai di Palembang berjumlah sekitar 35 kapal dari Persia. Secara geografis,
letak Sriwijaya yang berada di jalur perdagangan internasional memberi pengaruh
besar terhadap dunia luar. Beperapa peristiwa yang terjadi di luar daerah
kekuasaannya, misalnya perubahan politik di India yang saat itu di bawah
hegemoni Buddha, menjadikan Sriwijaya sebagai wilayah Buddha yang dapat
dijadikan pilihan. Ini menempatkan Sriwijaya sebagai pusat terkemuka keilmuwan
Buddha di Nusantara. I-Tsing, yang menghabiskan beberapa tahun di Palembang
dalam perjalanannya menuju ke dan kembali dari India, merekomendasikan
Sriwijaya sebagai pusat keilmuwan Buddha yang baik bagi para penuntut ilmu
agama ini sebelum mereka melanjutkan pelajaran ke India. Meskipun Sriwijaya
sebagai pusat keilmuwan Buddha, tetapi ia memiliki watak yang kosmopolitan.
Kondisi ini memungkinkan masuknya berbagai pengaruh atau ajaran lain, termasuk
agama Islam. Watak Sriwijaya yang kosmopolitan itulah yang memungkinkan para
pengungsi Muslim Arab dan Persia yang diusir dari Kanton setelah terjadi
kerusuhan di sana, mereka melakukan eksodus menuju Palembang untuk mencari
suaka politik dari penguasa setempat. Bukti lain yang menunjukkan bahwa Islam
berasal dari Arab yaitu :
Terdapat juga sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind yang ditulis
al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M, dikatakan bahwa para pedagang muslim telah
banyak berkunjung kala itu ke kerajaan Sriwijaya
Menurut al Mas’udi pada tahun 916 telah berjumpa Komunitas
Arab dari Oman, Hidramaut, Basrah, dan Bahrein untuk menyebarkan islam di
lingkungannya, sekitar Sumatra, Jawa, dan Malaka.
Munculnya nama “kampong Arab” dan tradisi Arab di lingkungan
masyarakat, yang banyak mengenalkan islam.
Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafii, dimana
pengaruh mazhab Syafii terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah.
Teori Persia yang dikemukakan oleh sebagian sejarawan di Indonesia tampaknya
kurang populer dibanding teori-teori sebelumnya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya pada
kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan
mempunyai persamaan dengan Persia.Kesamaan kebudayaan itu antara lain
<!–[if
!supportLists]–>1)
<!–[endif]–>Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan
syiah atas kematian Husain. Biasanya diperingati dengan membuat bubur Syura. Di
Minangkabau bulan Muharram disebut juga bulan Hasan-Husain.
Adanya kesamaan ajaran antara ajaran Syaikh Siti Jenar
dengan ajaran Sufi Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal pada
310H/922M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga
memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.
<!–[if
!supportLists]–>3)
<!–[endif]–>Penggunan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf
Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran tingkat awal.
Teori Persia mendapat tentangan dari berbagai pihak, karena
bila kita berpedoman kepada masuknya agama Islam pada abad ke-7, hal ini
berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umayyah. Sedangkan, saat itu
kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan berada di Mekkah,
Madinah, Damaskus dan Baghdad. Jadi, belum memungkinkan bagi Persia untuk
menduduki kepemimpinan dunia Islam saat itu.Namun, beberapa fakta lainnya menunjukkan bahwa para
pedagang Persia menyebarkan Islam dengan beberapa bukti antar lain:
- Gelar “Syah” bagi raja-raja di Indonesia.
- Pengaruh aliran “Wihdatul Wujud” (Syeh Siti Jenar).
- Pengaruh madzab Syi’ah (Tabut Hasan dan Husen).
Teori lainnya menyatakan bahwa Islam juga berasal dari Cina.
Teori ini sangat lemah, namun kemungkinan membawa Islam ke Indonesia sangat
besar. Jika diketahui penyebar Islam adalah banyak mereka para wirausahawan, hubungan
dagang antara Cina, Arab dan lainnya. Bahkan ketika Cina dipimpin Kubilai Khan,
(akhir abad 13) Islam dijadikan agama resmi. Sedangkan Cheng Ho merupakan duta
Cina untuk mengembalikan nama besar Cina setelah dipermalukan oleh Mongol. Ada
36 negara yang dikunjungi Cheng Ho, dan salah satunya adalah Indonesia.
Bukti lain yang cukup memperkuat bahwa Islam berasal dari
Cina antar lain :
- Gedung Batu di semarang (masjid gaya China).
- Beberapa makam Cina muslim.
- Beberapa wali yang kemungkinkan keturunan China.
Dari
beberapa bangsa yang membawa Islam ke Indonesia pada umumnya menggunakan
pendekatan kultural, sehingga terjadi dialog budaya dan pergaulan sosial yang
penuh toleransi (Umar kayam:1989).
Berbicara
tentang sejarah tentu tidak akan terlepas dari beberapa aspek yang
melingkupinya ia tidak sekedar mengungkapkan kuantitas dari data-data yang
diperoleh di lapangan, namun berusaha mengungkap hal-hal mendasar dibalik
terjadinya proses sejarah tersebut, terutama segala aspek yang menyangkut
sosiologi, politik dan budaya sebagai proses menuju perbaikan. Berdasarkan
berbagai paparan sejarah masuknya Islam di nusantara, kita bisa mengambil ibroh
atau pelajaran berharga tentang dakwah Islam yang dilakukan oleh pata pendahulu
kita. Keuletan dan kegigihan para juru dakwah yang berasal dari berbagai tempat
dalam menyampaikan ajaran Islam mampu menjadikan negara Indonesia
berpenduduk muslim terbesar di dunia menjadikan sebuah prestasi yang gemilang
bagi mereka para juru dakwah di Nusantara. Hal ini tentu menjadi teladan
dan semangat bagi kita semua untuk mempertahankan prestasi tersebut dengan
mensyiarkan Islam lebih luas
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.SEJARAH UMAYYAH
Dinasti Umayyah adalah kerajaan Islam
pertama yang didirikan oleh Mu'awiyah ibn Abi Sofyan pada tahun 41 H/661 M.
tahun ini disebut dengan 'Aam al-Jama'ah karena pada tahun ini semua
umat islam sepakat atas ke-kholifah-an Mu'awiyah dengan gelar Amir al-Mu'minin.
Menurut catatan sejarah dinasti Umayyah ini terbagi menjadi dua periode, yaitu
:
1. Dinasti Umayyah I di Damaskus (41
H/661 M – 132 H/750 M), dinasti ini berkuasa kurang lebih selama 90 tahun dan
mengalami pergantian pemimpin sebanyak 14 kali. Diantara kholifah besar dinasti
ini adalah Muawiyyah ibn Abi Sofyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan
(685-705 M), al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz
(717-720 M), dan Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M).2 Sepeninggal Hisyam ibn Abd
al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi
juga bermoral buruk. Akhirnya, pada tahun 750 M, dinasti ini digulingkan oleh
dinasti Abbasiyyah.
2. Dinasti Umayyah II di Andalus/Spanyol
(755 – 1031 M), kerajaan Islam di Spanyol ini didirikan oleh Abd al-Rahman I
al- Dakhil. Ketika Spanyol berada di bawah kekuasaan dinasti Umayyah II ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh
kemajuan-kemajuan. Terutama pada masa kepemimpinan Abd al-Rahman al-Ausath,
pendidikan islam menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Hal ini desebabkan
karena sang kholifah sendiri terkenal sebagai penguasa yang cinta ilmu. Ia
mengundang para ahli dari dunia islam lainnya ke Spanyol sehingga kegiatan ilmu
pengetahuan di sana menjadi kian semarak (Badri Yatim, 2003: 95). Awal dari
kehancuran dinasti Umayyah II di Spanyol ini bermula ketika Hisyam II (400
H/1009 M – 403 H/1013 M) naik tahta dalam usia 11 tahun. Pada tahun 981 M
khalifah menunjuk Ibn Abi 'Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Pada
tahun 1009 M khalifah mengundurkan diri akibat beberapa kekacauan. Beberapa
orang yang dicoba untuk menduduki jabatan itu tidak ada yang sanggup
memperbaiki keadaan. Akhirnya pada tahun 1013 M Dewan Mentri menghapus jabatan
khalifah. Ketika itu Spanyol sudah terpecah menjadi beberapa negara kecil yang
berpusat di kota-kota tertentu.
BAB II
URAIAN
Sejarah pendidikan
Islam pada hakekatnya sangat berkaitan erat dengan sejarah Islam. Periodesasi
pendidikan Islam selalu berada dalam periode sejarah Islam itu sendiri. Secara
garis besarnya Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode.
Yaitu periode Klasik, Pertengahan dan Modern.
Kemudian perinciannya dapat dibagi lima periode, yaitu: Periode Nabi
Muhammad SAW (571-632 M), periode Khulafa ar Rasyidin (632-661 M), periode
kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M), periode kekuasaan Abbasiyah (750-1250 M)
dan periode jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250-sekarang).[1][1] Dalam makalah ini penulis mencoba
untuk menggambarkan tentang pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah.
Kekuasaan Bani Umayyah
berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan Muawiyyah dari
Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya. Muawwiyah
Ibn Abi Sofyan adalah pendiri Dinasti Umayyah yang berasal dari suku Quraisy
keturunan Bani Umayyah yang merupakan khalifah pertama dari tahun 661-750 M,
nama lengkapnya ialah Muawwiyah bin Abi Harb bin Umayyah bin Abdi Syam bin
Manaf.[2][2]
Setelah Muawwiyah
diangkat jadi khalifah ia menukar sistem pemerintahan dari Theo Demikrasi menjadi
Monarci (Kerajaan/Dinasti) dan sekaligus memindahkan Ibu Kota Negara
dari Kota Madinah ke Kota Damaskus.
Muawwiyah lahir 4 tahun menjelang Nabi Muhammad SAW menjalankan Dakwah
Islam di Kota Makkah, ia beriman dalam usia muda dan ikut hijrah bersama Nabi
ke Yastrib. Disamping itu termasuk salah
seorang pencatat wahyu, dan ambil bagian dalam beberapa peperangan bersama
Nabi.[3][3]
Pada masa khalifah Abu
Bakar Siddiq dan Kalifah Umar ibn Khattab, Umayyah menjabat sebagai panglima
pasukan dibawah pimpinan Ubaidah ibn Jarrah untuk wilayah Palestina, Suriah dan
Mesir. Pada masa khalifah Usman ibn
Affan ia diangkat menjadi Wali untuk wilayah Suriah yang berkedudukan di
Damaskus. Pada masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib tahun 661 M diwarnai dengan
krisis dan pertentangan yang sangat tajam di wilayah Islam dimana ditandai
dengan perang Shuffin yang pada akhirnya Ali ibn Abi Thalib mati terbunuh
sewaktu shalat shubuh di Masjid Nabawi Madinah.[4][4]
Sepeninggal Ali ibn
Abi Thalib tahun 661 M sebagian umat Islam di Iraq memilih dan mengangkat Hasan
ibn Ali ibn Thalib menjadi Khalifah.
Akan tetapi Hasan adalah orang yang taat, bersikap damai serta tidak
tega dengan perpecahan dalam Islam. Akhirnya diadakanlah serah terima kekuasaan
di Kota Khuffah. Dengan demikian
dimulailah Dinasti Umayyah.
Pada dinasti Umayyah
perluasan daerah Islam sangat luas sampai ke timur dan barat. Begitu juga
dengan daerah Selatan yang merupakan tambahan dari Daerah Islam di zaman
Khulafa ar Rasyidin yaitu: Hijaz, Syiria, Iraq, Persia dan Mesir.
Seiring dengan itu
pendidikan pada priode Danasti Umayyah telah ada beberapa lembaga seperti:
Kuttab, Masjid dan Majelis Sastra.
Materi yang diajarkan bertingkat-tingkat dan bermacam-macam. Metode pengajarannya pun tisak sama. Sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuan
dalam berbagai bidang tertentu.[5][5]
2.1. Pola Pendidikan Islam Pada Priode Dinasti Umayyah
Pada masa dinasti
Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi.
Desentrasi artinya pendidikan tidak hanya terpusat di ibu kota Negara saja
tetapi sudah dikembangkan secara otonom di daerah yang telah dikuasai seiring
dengan ekspansi teritorial.[6][6] Sistem pendidikan ketika itu belum
memiliki tingkatan dan standar umur.[7][7] Kajian ilmu yang ada pada periode
ini berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa
kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan Palestina (Syam),
Fistat (Mesir). Diantara ilmu-ilmu yang dikembangkannya, yaitu: kedokteran,
filsafat, astronomi atau perbintangan, ilmu pasti, sastra, seni baik itu seni
bangunan, seni rupa, maupun seni suara.[8][8]
Pola pendidikan Islam
pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila dibandingkan pada masa
Khulafa ar Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di
masjid-masjid dan berkembangnya Khuttab serta Majelis Sastra. Jadi tempat pendidikan pada periode Dinasti
Umayyah adalah:
1. Khuttab
Khuttab atau Maktab
berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis,
jadi Khuttab adalah tempat belajar menulis. Khuttab merupakan tempat anak-anak
belajar menulis dan membaca, menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok
ajaran Islam.[9][9]
Adapun cara yang
dilakukan oleh pendidik disamping mengajarkan Al Quran mereka juga belajar
menulis dan tata bahasa serta tulisan.
Perhatian mereka bukan tertumpu mengajarkan Al Quran semata dengan
mengabaikan pelajaran yang lain, akan tetapi perhatian mereka pada pelajaran
sangat pesat. Al Quran dipakai sebagai
bahasa bacaan untuk belajar membaca, kemudian dipilih ayat-ayat yang akan
ditulis untuk dipelajari. Disamping
belajar menulis dan membaca murid-murid juga mempelajari tata bahasa Arab,
cerita-cerita Nabi, hadist dan pokok agama.[10][10]
Kalau dilihat di dalam
sejarah pendidikan Islam pada awalnya dikenal dua bentuk Kuttab, yaitu:
Ilmu-ilmu yang
diajarkan pada Kuttab pada mula-mulanya adalah dalam keadaan sederhana, yaitu:
a. Belajar membaca dan
menulis
b. Membaca Al-Qur’an
dan menghafalnya
c.
Belajar pokok-pokok agama Islam, seperti cara wudhu, shalat, puasa dan sebagainya.
Ilmu-ilmu
yang diajarkan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari:
a. Al-Qur’an dan
tafsirannya.
b. Hadis dan
mengumpulkannya.
c. Fiqh (tasri’).
Peserta didik dalam
Khutab adalah anak-anak, tidak dibatasi baik miskin ataupun kaya. Para guru tidak membedakan murid-murid
mereka, bahkan ada sebagian anak miskin yang belajar di Khuttab memperoleh
pakaian dan makanan secara cuma-cuma.
Anak-anak perempuan pun memperoleh hak yang sama dengan anak-anak
laki-laki dalam belajar.[13][13]
Namun tidak tertutup kemungkinan bagi orang yang mampu mendidik
anak-anak mereka di tempat khusus yang mereka inginkan dengan guru-guru yang
khusus pula seperti: Hajjad ibn Yusuf yang pernah menjadi guru bagi putra
Sulaiman Nasuh seorang Menteri dari khalifah Abdul Malik ibn Marwan. [14][14]
2. Masjid
Setelah pelajaran
anak-anak di khutab selesai mereka melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah
yang dilakukan di masjid. Peranan Masjid
sebagai pusat pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang
yang merasa dirinya tetap dan mampu untuk memberikan atau mengajarkan ilmunya
kepada orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan.
Pada Dinasti Umayyah,
Masjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah
khuttab. Pelajaran yang diajarkan
meliputi Al Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh.
Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan
ilmu perbintangan.[15][15]
Diantara jasa besar
pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah
menjadikan Masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah termasuk sya’ir. Sejarah
bangsa terdahulu diskusi dan akidah. Pada periode ini juga didirikan Masjid ke
seluruh pelosok daerah Islam. Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di
Makkah selalu menjadi tumpuan penuntut ilmu diseluruh dunia Islam dan tampak
juga pada pemerintahan Walid ibn Abdul Malik 707-714 M yang merupakan
Universitas terbesar dan juga didirikan Masjid Zaitunnah di Tunisia yang
dianggap Universitas tertua sampai sekarang.[16][16]
Pada Dinasti Umayyah
ini, masjid sebagai tempat pendidikan terdiri dari dua tingkat yaitu: tingkat
menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat menengah guru belumlah ulama besar
sedangkan pada tingkat tinggi gurunya adalah ulama yang dalam ilmunya dan masyhur
kealiman dan keahliannya. Umumnya pelajaran yang diberikan guru kepada
murid-murid seorang demi seorang, baik di Khuttab atau di Masjid tingkat
menengah. Sedangkan pada tingkat pelajaran yang diberikan oleh guru adalah
dalam satu Halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama.
3. Majelis Sastra
Majelis sastra
merupakan balai pertemuan yang disiapkan oleh khalifah dihiasi dengan hiasan
yang indah, hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka. Menurut M. Al Athiyyah Al Abrasy “Balai-balai
pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan seseorang
yang masuk ketika khalifah hadir, mestilah berpakaian necis bersih dan rapi,
duduk di tempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak, tidak meludah,
tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanya. Ia tidak boleh bersuara keras dan harus bertutur
kata dengan sopan dan memberi kesempatan pada sipembicara menjelaskan
pembicaraannya serta menghindari penggunaan kata kasar dan tawa terbahak-bahak.
Dalam balai-balai pertemuan seperti ini disediakan pokok-pokok persoalan untuk
dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan”.[17][17]
Hal diatas sesuai
dengan wasiat Abdul Malik ibn Harman kepada pendidik puteranya dengan pesan “Ajarkan
kepada mereka berkata benar disamping mengajarkan Al Quran. Jauhkanlah mereka
dari orang-orang jahat yang tidak mengindahkan perintah Allah dan tidak berlaku
sopan, dan jauhkan juga mereka chadam dan pekerjaannya karena bergaul dengan
mereka akan dapat merusak moralnya.
Gunakanlah perasaan mereka agar badannya kuat, dan serahkanlah mereka
bersufi dan air dengan menghisabnya pelan-pelan dan jangan minum tidak senonoh
bila memerlukan teguran hendaklah secara tertutup, jangan sampai diketahui oleh
pelayan dan tamu agar mereka tidak dipandang rendah.[18][18]
Majelis sastra
merupakan tempat berdiskusi membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai
tempat berdiskusi mengenai urusan politik.
Perhatian penguasa Ummayyah sangat besar pada pencatatan kaidah-kaidah
nahwu, pemakaian Bahasa Arab dan mengumpulkan Syair-syair Arab dalam bidang
syariah, kitabah dan berkembangnya semi prosa.[19][19]
4. Pendidikan Istana, yaitu pendidikan yang diselenggarakan dan
diperuntukkan khusus bagi anak-anak khalifah dan para pejabat pemerintahan.
Kurikulum pada pendidikan istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang
kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan
kebutuhan pemerintah, maka kurikulumnya diatur oleh guru dan orang tua murid.[20][20]
5. Pendidikan Badiah, yaitu tempat
belajar bahasa arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul
Malik ibn Marwan memprogramkan arabisasi maka muncul istilah badiah, yaitu
dusun badui di Padang Sahara mereka masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah
bahasa arab tersebut. Sehingga banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke
badiah untuk belajar bahasa arab bahkan ulama juga pergi ke sana di antaranya
adalah Al Khalil ibn Ahmad. [21][21]
6. Pendidikan Perpustakaan, pemerintah dinasti umayyah mendirikan perpustakaan yang besar di Cordova
pada masa khalifah Al Hakam ibn Nasir. [22][22]
7.
Bamaristan, yaitu
rumah sakit tempat berobat dan merawat orang serta tempat studi kedokteran. Cucu Muawiyah Khalid ibn Yazid sangat tertarik pada ilmu
kimia dan kedokteran. Ia menyediakan sejumlah harta dan memerintahkan para
sarjana yunani yang ada di Mesir untuk menerjemahkan buku kimia dan kedokteran
ke dalam bahasa arab. Hal ini menjadi terjemahan pertama dalam sejarah sehingga
al Walid ibn Abdul Malik memberikan perhatian terhadap bamaristan.[23][23]
Usaha yang tidak kalah
pentingnya pada masa Dinasti Umayyah ini dimulainya penterjemahan ilmu-ilmu
dari bahasa lain ke dalam Bahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Khalid ibn
Yazid ia memerintahkan beberapa sarjana Yunani da Qibti ke dalam Bahasa Arab
tentang ilmu Kimia, Kedokteran dan Ilmu Falaq.[24][24]
Pada periode Dinasti
Umayyah ini terkenal sibuk dengan pemberontakan dalam negeri dan sekaligus
memperluas daerah kerajaan tidak terlalu banyak memusatkan perhatian pada
perkembangan ilmiah, akan tetapi muncul beberapa ilmuwan terkemuka dalam
berbagai cabang ilmu seperti yang dikemukana oleh Abd. Malik Ibn Juraid al Maki
dan cerita peperangan serta syair dan Kitabah.[25][25]
Ilmu tafsir memiliki
makna yang strategis, disamping karena
faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa
konsekwensi lemahnya rasa seni sastra arab, juga karena banyaknya yang masuk
Islam. Hal ini menyebabkan pencemaran
bahasa Al Quran dan makna Al Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan
tertentu. Pencemaran Al Quran juga
disebabkan oleh faktor intervensi yang didasarkan kepada kisah-kisah
Israiliyyat. Tokohnya adalah Abd Malik
ibn Juraid al Maki. Selain ilmu tafsir
ilmu hadist juga mendapatkan perhatian serius.
Pentingnya periwayatan hadist sehingga dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah maupun secara moral. Namun
keberhasilan yang diraihnya adalah semangat untuk mencari hadist, sebelum
mencapai tahap kodifikasi. Khalifah Umar
ibn Abdul Aziz yang memerintah hanya dua tahun 717-720 M pernah mengirim surat
kepada Abu Bakar ibn Amir bin Ham dan kepada ulama yang lain untuk menuliskan
dan mengumpulkan hadist-hadist, namun hingga akhir pemerintahannya hal itu
tidak terlaksana. Sungguhpun demikian pemerintahan Umar ibn Aziz telah
melahirkan metode pendidikan alternative, yakni para ulama mencari hadist ke
berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal
metode Rihlah.
Dibidang fiqh secara
garis besarnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu aliran ahli al-Ra’y
dan aliran al hadist, kelompok aliran pertama ini mengembangkan hukum Islam
dengan menggunakan analogi atau Qiyas, sedangkan aliran yang kedua lebih
berpegang pada dalil-dalil, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika
tidak ada ayat Al Quran dan hadits yang menerangkannya. Nampaknya disiplin ilmu fiqh menunjukkan perkembangan yang sangat berarti. Periode ini telah melahirkan sejumlah
mujtahid fiqh. Terbukti ketika akhir
masa Umayyah telah lahir tokoh mazhab yakni Imam Abu Hanifah di Irak dan Imam
Malik Ibn Anas di Madinah, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal
lahir pada masa Abbasyiyah.[26][26]
Dibidang syair yang
terkenal dikalangan orang Arab diantaranya adalah tentang pujian, syairnya
adalah:
Artinya : “Engkau adalah pengendara kuda yang
paling baik, engkau adalah orang yang pemurah di atas dunia ini”
Periode Dinasti
Umayyah pada bidang pendidikan, adalah menekankan ciri ilmiah pada Masjid
sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan tinggi dalam masyarakat
Islam. Dengan penekanan ini di Masjid
diajarkan beberapa macam ilmu, diantaranya syair, sastra dan ilmu lainnya. Dengan demikian periode antara permulaan abad
ke dua hijrah sampai akhir abad ketiga hijrah merupakan zaman pendidikan Masjid
yang paling cemerlang.
Nampaknya pendidikan
Islam pada masa periode Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada
masa Khulafa ar Rasyiddin. Hanya saja
memang ada sisi perbedaan perkembangannya.
Perhatian para Khulafa dibidang pendidikan agaknya kurang memperhatikan
perkembangannya sehingga kurang maksimal, pendidikan berjalan tidak diatur oleh
pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang
mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan
yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir tidak ditemukan. Jadi sistem pendidikan Islam ketika itu masih
berjalan secara alamiah karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan
politis dan golongan.
Walaupun demikian pada
periode Dinasti Umayyah ini dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan
ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu
terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia,
kedokteran, ilmu tata laksana dan seni bangunan. Pada umumnya gerakan penerjemahan ini
terbatas keadaan orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas
dorongan negara dan tidak dilembagakan.
Menurut Franz Rosenthal orang yang pertama kali melakukan penerjemahan
ini adalah Khalid ibn Yazid cucu dari Muawwiyah.[27][27]
Selain kemajuan
seperti di atas ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah:
1. Ilmu agama,
seperti: Al-Qur’an, Haist, dan Fiqh. Proses pembukuan Hadist terjadi pada masa
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sejak saat itulah hadis mengalami perkembangan
pesat.
2. Ilmu sejarah dan
geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan
riwayat. Ubaid ibn Syariyah Al Jurhumi berhasil menulis berbagai peristiwa
sejarah.
3. Ilmu pengetahuan
bidang bahasa, yaitu segla ilmu yang mempelajari bahasa, nahu, saraf, dan
lain-lain.
4. Bidang filsafat,
yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu
mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu,
serta ilmu kedokteran.[28][28]
2.2. TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN
PADA MASA BANI UMAYYAH
Tokoh-tokoh pendidikan
pada masa Bani Umayyah terdiri dari ulama-ulama yang menguasai bidangnya
masing-masing seperti dalam bidang tafsir, hadist, dan Fiqh. Selain para ulama
juga ada ahli bahasa/sastra.
1. Ulama-ulama tabi’in ahli tafsir,
yaitu: Mujahid, ‘Athak bin Abu Rabah, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Masruq bin
Al-Ajda’, Qatadah. Pada masa tabi’in tafsir Al-Qur’an bertambah luas dengan
memasukkan Israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak orang-orang Yahudi dan
Nasrani memeluk agama Islam. Di antara mereka yang termasyhur: Ka’bul Ahbar,
Wahab bin Munabbih, Abdullah bin Salam, Ibnu Juraij.
2. Ulama-ulama Hadist: Kitab bacaan
satu-satunya ialah al-Qur’an. Sedangkan hadis-hadis belumlah dibukukan.
Hadis-hadis hanya diriwayatkan dari mulut ke mulut. Dari mulut guru ke mulut
muridnya, yaitu dari hafalan uru diberikannya kepada murid, sehingga menjdi
hafalan murid pula dan begitulah seterusnya. Setengah sahabat dan
pelajar-pelajar ada yang mencatat hadist-hadist itu dalam buku catatannya,
tetapi belumlah berupa buku menurut istillah kita sekarang. Ulama-ulama sahabat
yang banyak meriwayatkan hadis-hadis ialah: Abu Hurairah (5374 hadist), ‘Aisyah
(2210 hadist), Abdullah bin Umar (± 2210 hadist), Abdullah bin Abbas (± 1500
hadist), Jabir bin Abdullah (±1500 hadist), Anas bin Malik (±2210 hadist).
3. Ulama-ulama ahli Fiqh: Ulama-ulama
tabi’in Fiqih pada masa bani Umayyah diantaranya adalah:, Syuriah bin
Al-Harits, ‘alqamah bin Qais, Masuruq Al-Ajda’,Al-Aswad bin Yazid kemudian
diikuti oleh murid-murid mereka, yaitu: Ibrahim An-Nakh’l (wafat tahun 95 H) dan
‘Amir bin Syurahbil As Sya’by (wafat tahun 104 H). sesudah itu digantikan oleh
Hammad bin Abu Sulaiman (wafat tahubn 120 H), guru dari Abu Hanafiah.
4. Ahli bahasa/sastra: Seorang ahli
bahasa seperti Sibawaih yang karya tulisnya Al-Kitab, menjadi
pegangan dalam soal berbahasa arab. Sejalan dengan itu, perhatian pada syair
Arab jahiliahpun muncul kembali sehingga bidang sastra arab mengalami kemajuan.
Di zaman ini muncul penyair-penyair seperti Umar bin Abu Rabiah (w.719), Jamil
al-uzri (w.701), Qys bin Mulawwah (w.699) yang dikenal dengan nama Laila
Majnun, Al-Farazdaq (w.732), Jarir (w.792), dan Al akhtal (w.710). sebegitu
jauh kelihatannya kemajuan yang dicapai Bani Umayyah terpusat pada bidang
ekspansi wilayah, bahasa dan sastra arab, serta pembangunan fisik. Sesungguhnya
dimasa ini gerakan-gerakan ilmiah telah berkembang pula, seperti dalam bidang
keagamaan, sejarah dan filsafat. Dalam bidang yang pertama umpamanya dijumpai
ulama-ulama seperti Hasan al-Basri, Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Wasil bin Ata. Pusat
kegiatan ilmiah ini adalah Kufah dan Basrah di Irak. Khalid bin Yazid bin
Mu’awiyah (w. 794/709) adalah seorang orator dan penyair yang berpikir tajam.
Ia adalah orang pertama yang menerjemahkan buku-buku tentang astronomi,
kedokteran, dan kimia.
a. MADRASAH/UNIVERSITAS PADA MASA BANI UMAYYAH
Perluasan negara Islam
bukanlah perluasan dengan merobohkan dan menghancurkan, bahkan perluasan dengan
teratur diikuti oleh ulama-ulama dan guru-guru agama yang turut bersama-sama
tentara Islam. Pusat pendidikan telah tersebar di kota-kota besar sebagai
berikut: di kota Mekkah dan Madinah (HIjaz),di kota Basrah dan Kufah (Irak), di
kota Damsyik dan Palestina (Syam), di kota Fistat (Mesir). Madrasah-madrasah
yang ada pada masa Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
1) Madrasah Mekkah:
Guru pertama yang mengajar di Makkah, sesudah penduduk Mekkah takluk, ialah
Mu’az bin Jabal. Ialah yang mengajarkan Al Qur’an dan mana yang halal dan haram
dalam Islam. Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Abdullah bin Abbas pergi
ke Mekkah, lalu mengajar disana di Masjidil Haram. Ia mengajarkan tafsir, fiqh
dan sastra. Abdullah bin Abbaslah pembangunan madrasah Mekkah, yang termasyur
seluruh negeri Islam.
2) Madrasah Madinah:
Madrasah Madinah lebih termasyur dan lebih dalam ilmunya, karena di sanalah
tempat tinggal sahabat-sahabat nabi. Berarti disana banyak terdapat ulama-ulama
terkemuka.
3) Madrasah Basrah:
Ulama sahabat yang termasyur di Basrah ialah Abu Musa Al-asy’ari dan Anas bin
Malik. Abu Musa Al-Asy’ari adalah ahli fiqih dan ahli hadist, serta ahli Al
Qur’an. Sedangkan Abas bin Malik termasyhur dalam ilmu hadis. Al-Hasan Basry
sebagai ahli fiqh, juga ahli pidato dan kisah, ahli fikir dan ahli tasawuf. Ia
bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada pelajar-pelajar, bahkan juga
mengajar orang banyak dengan mengadakan kisah-kisah di masjid Basrah.
4) Madrasah Kufah:
Madrasah Ibnu Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang ulama besar, yaitu:
‘Alqamah, Al-Aswad, Masroq, ‘Ubaidah, Al-Haris bin Qais dan ‘Amr bin Syurahbil.
Mereka itulah yang menggantikan Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di Kufah.
Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di
Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas’ud. Bahkan
mereka pergi ke Madinah.
5) Madrasah Damsyik
(Syam): Setelah negeri Syam (Syria) menjadi sebagian Negara Islam dan
penduduknya banyak memeluk agama Islam. Maka negeri Syam menjadi perhatian para
Khilafah. Madrasah itu melahirkan imam penduduk Syam, yaituAbdurrahman
Al-Auza’iy yang sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu-Hanafiah. Mazhabnya
tersebar di Syam sampai ke Magrib dan Andalusia. Tetapi kemudian mazhabnya itu
lenyap, karena besar pengaruh mazhab Syafi’I dan Maliki.
6) Madrasah Fistat
(Mesir): Setelah Mesir menjadi negara Islam ia menjadi pusat ilmu-ilmu agama.
Ulama yang mula-mula madrasah madrasah di Mesir ialah Abdullah bin ‘Amr bin
Al-‘As, yaitu di Fisfat (Mesir lama). Ia ahli hadis dengan arti kata yang
sebenarnya. Karena ia bukan saja menghafal hadis-hadis yang didengarnya dari
Nabi S.A.W., melainkan juga dituliskannya dalam buku catatan, sehingga ia tidak
lupa atau khilaf meriwayatkan hadis-hadis itu kepada murid-muridnya. Oleh
karena itu banyak sahabat dan tabi’in meriwayatkan hadis-hadis dari padanya.
Karena pelajar-pelajar tidak mencukupkan belajar pada seorang ulama di negeri
tempat tinggalnya, melainkan mereka melawat ke kota yang lain untuk melanjutkan
ilmunya. Pelajar Mesir melawat ke Madinah, pelajar Madinah melawat ke Kufah,
pelajar Kufah melawat Syam, pelajar Syam melawat kian kemari dan begitulah
seterusnya. Dengan demikian dunia ilmu pengetahuan tersebar seluruh kota-kota
di Negara Islam.
2.4. DISKUSI
Masalah pendidikan pada masa Dinasti Umayah
Dari uraian di atas,
maka pada masa dinasti Umayah telah terjadi perubahan sistem pemerintahan,
yakni dari Theo Demokrasi menjadi Monarci (Kerajaan/Dinasti). Ini
tidak terlepas dari pengaruh situasi politik pada saat itu. Pendidikan sebagai suatu sistem di suatu wilayah, tentunya tidak dapat
dipisahkan dari situasi politik di wilayah tersebut. Berubah-ubahnya kebijakan
politik membuat berubah-ubahnya kebijaksanaan penguasa terhadap pelaksanaan
pendidikan Islam. Oleh karena itu, pertanyaan diskusi yang pertama adalah
bagaimana pengaruh situasi politik terhadap kebijakan pemerintah dalam
pendidikan Islam? Selain dari pengaruh situasi politik, pengembangan pendidikan
Islam pada masa dinasti umayah ini mengalami hambatan yang datang dari dunia
barat, seperti Yunani. Oleh karena itu, pertanyaan diskusi yang kedua adalah
bagaimana pola pendidikan Islam pada masa itu mampu mengimbangi tantangan dari
dunia barat?
Pemecahan Masalah pendidikan pada
masa Dinasti Umayah
Situasi politik yang pada awal masa
dinasti Umayah masih belum stabil. Ini dikarenakan upaya peralihan kekuasaan
dari Hasan dianggap dilakukan atas dasar kelicikan. Sebelumnya Muawwiyyah telah
berjanji tidak akan merubah sistem pemerintahan. Akan tetapi, Muawwiyyah tetap
merubah sistemnya menjadi Monarci (Kerajaan/Dinasti). Ini sangat berdampak sekali terhadap pola
pendidikan Islam pada masa itu. Pada masa sebelum dinasti Umayah, pendidikan
difokuskan di Khuttab dan di Masjid. Setelah sistem Monarki diberlakukan, maka
secara otomatis pemilihan raja didasarkan atas garis keturunan. Ini
mengakibatkan munculnya pendidikan istana. Pendidikan ini bertujuan agar
anak-anak para raja diajarkan ilmu-ilmu tentang kepemimpinan dari sebuah
kerajaan. Kurikulum dalam pendidikan istana inipun berbeda dengan kurikulum
yang diberlakukan di Khuttab atau masjid. Kurikulum di pendidikan istana ini
ditentukan dan diatur oleh guru dan orangtua. Ini menyebabkan terjadi perbedaan
kurikulum. Selain itu, seiring dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan
Umayyah, menyebabkan penggunaan bahasa Arab semakin berkembang. Ini menyebabkan
berdirinya Pendidikan Badiah, yaitu tempat belajar bahasa arab yang fasih dan
murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul Malik ibn Marwan memprogramkan
arabisasi maka muncul istilah badiah, yaitu dusun badui di Padang Sahara mereka
masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa arab tersebut. Sehingga
banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke badiah untuk belajar bahasa arab
bahkan ulama juga pergi ke sana di antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad.
Untuk mengimbangi
dengan tantangan dari Negara Barat, maka pemerintah tidak hanya memfokuskan
pelajaran terhadap pelajaran agama Islam saja. Akan tetapi, pemerintah pada
saat itu telah memeulia kegiatan penterjemahan terhadap buku-buku yang dikarang
oleh orang barat. Ini bertujuan agar orang-orang Islam bisa memperoleh ilmu
dari buku tersebut. tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang
mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata
laksana dan seni bangunan. Pada umumnya
gerakan penerjemahan ini terbatas keadaan orang-orang tertentu dan atas usaha
sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan. Menurut Franz Rosenthal orang yang pertama
kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid cucu dari Muawwiyah.
Sedangkan ilmu-ilmu yang di salin dari bahasa Asing ke dalam bahasa Arab dan di
sempurnakan untuk kepentingan keilmuan umat Islam dikelompokan dalam Al-Ulumud
Dakhilah yang terdiri dari :
1. Ilmu Kima. Khalifah Yazid bin Yazid
bin Mua'wiyah adalah yang menyuruh penerjemahannya ke dalam bahsa Arab.Beliau
mendatangkan beberapa orang Romawi yang bermukim di Mesir, di antaranya
Maryanis seorang pendeta yang mengajarkan ilmu kimia. Penerjemahan ke dalam
bahasa Arab dilakukan oleh Isthafun.
2. Ilmu Bintang. Masih dalam masa Kholid
bin Walid, beliau sangat menggemari ilmu ini sehingga dikeluarkan sejumlah uang
untuk mempelajari dan membeli alat-alatnya. Karena gemarnya setiap akan pergi
ke medan perang selalu dibawanya ahli ilmu bintang.
3. Ilmu Kedokteran. Penduduk Syam di
jaman ini telah banyak menyalin bermacam ilmu ke dalam bahasa Arab seperti
ilmu-ilmu kedokteran, mislanya karanganm Qis Ahrun dalam bahasa Suryani yang
disalin ke dalam bahasa Arab oleh Masajuwaihi.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. KESIMPULAN
Pemerintah dinasti
Umayyah menaruh perhatian dalam bidang pendidikan. Memberikan dorongan yang
kuat terhadap dunia pendidikan dengan penyediaan sarana dan prasarana. Hal ini
dilakukan agar para ilmuan, para seniman, dan para ulama mau melakukan
pengembangan bidang ilmu yang dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi
ilmu. Setelah sistem Monarki diberlakukan, maka secara otomatis pemilihan raja
didasarkan atas garis keturunan. Ini mengakibatkan munculnya pendidikan istana.
Untuk mengimbangi dengan tantangan dari Negara Barat, maka pemerintah tidak
hanya memfokuskan pelajaran terhadap pelajaran agama Islam saja. Akan tetapi,
pemerintah pada saat itu telah memeulia kegiatan penterjemahan terhadap
buku-buku yang dikarang oleh orang barat.
3.2. SARAN
Karena makalah ini
jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu pemakalah minta saran dan kritikan dari
saudara dan Bapak Dosen pembimbing demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara,
1992.
Dewan
Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1967.
Syu’aib,
Yusuf, Sejarah Daulah Umayyah 1, Jakarta, Bulan Bintang, 1997.
Langgulung,
Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad-21, Jakarta, Pustaka Al Husna,
1980.
Yunus,
Mahmud., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, PT. Hida Karya Agung, 1981.
Nizar, Samsul, Sejarah Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam,
PT. Cuputat Press Group, 2005.
Al Abrasi, Athiyya, Tarbiyah Al Islamiyah, Terjemahan Bustami
A. Ghani, Jakarta, Bulan Bintang, 1993
Fahmi, Asma Hasan, Mabadi’at Tarbiyyah Al Islamiyyah,
diterjemahkan oleh Mukhtar Yahya dan Sanusi Latif, Jakarta, Bulan Bintang, tth.
Salabi, Ahmad, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang.
Chalil,
Munawar, Empat Biografi Imam Mazhab, Jakarta, Bulan Bintang, 1989.
Suwedi, Sejarah
Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
http://akitephos.wordpress.com/sejarah-pendidikan-Islam/
MASA KEEMASAN BANI ABBASIYAH
Khilafah Abbasiyah merupakan
kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah, dimana pendiri dari
khilafah ini adalah Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn
Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas
Rahimahullah. Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s/d. 656
H (1258 M).
Berdasarkan perubahan pola
pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan
Daulah Abbas menjadi lima periode:
- Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
- Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
- Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
- Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
- Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada
periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara
politis, para khalifah betul-betul tokoh yang
kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain,
kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil
menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Namun setelah periode
ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik,
meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas,
pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya
digantikan oleh Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama
dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah. Untuk
memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya
satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya
adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah
sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur
memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani
melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun
755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah,
dekat Kufah. Namun,
untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu,
al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat
bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti
Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi
dan penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga
eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru
dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator dari kementrian yang ada, Wazir pertama
yang diangkat adalah Khalid
bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris
negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia
menunjuk Muhammad ibn Abdurrahman
sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak
masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau
dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos
ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga
administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos
bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur
berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri
dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara
usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan
Taurus dan mendekati selat Bosphorus.
Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine
V dan selama gencatan senjata 758-765
M, Bizantium
membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki
Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus dan India.
“
|
Innama anii Sulthan Allah fi
ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)
|
”
|
Dengan demikian, konsep khilafah
dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut Nabi
sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun. Disamping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah,
khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar tahta", seperti
al-Manshur, dan belakangan gelar tahta ini lebih populer daripada nama yang
sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan
daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan
al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah
sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786
M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun
(813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq
(842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi
perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui
irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan
besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa
kekayaan. Bashrah menjadi
pelabuhan yang penting.
Popularitas daulah Abbasiyah
mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid
Rahimahullah (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun
(813-833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan
sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi.
Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping
itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada
zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak
tertandingi.
Al-Ma'mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang
sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan
buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan
penganut agama lain yang ahli (wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah).
Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting
adalah pembangunan Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai
perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma'mun
inilah Baghdad mulai
menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tasim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar
kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai
sebagai tentara pengawal.
Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah
mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara
khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer
dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini
banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari
kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti
gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij
di Afrika Utara, gerakan Zindiq di Persia, gerakan Syi'ah, dan
konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah
pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara
Bani Abbas dan Bani Umayyah. Disamping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani
Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.
- Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
- Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
- Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas,
puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa
pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari
kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai
sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam,
lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan
terdiri dari dua tingkat:
- Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
- Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian
berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan
dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas,
karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis
dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh
perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak
zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu,
kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
- Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
- Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang
sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama.
Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama,
tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil
interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu
metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada
hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa
pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi
al-ra'yi, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran
filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan
terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat
memengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam madzhab hukum yang empat
hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah
Rahimahullah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi
oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat
kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan
pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu
Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun Ar-Rasyid.
Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik Rahimahullah (713-795 M) banyak menggunakan hadits
dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi
oleh Imam Syafi'i Rahimahullah (767-820 M), dan Imam Ahmad ibn Hanbal
Rahimahullah (780-855 M) yang mengembalikan sistem madzhab dan pendapat
akal semata kepada hadits Nabi serta memerintahkan para muridnya untuk
berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini mereka
lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran Islam dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab.
Disamping empat pendiri madzhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani
Abbas banyak para mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan
mendirikan madzhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang,
pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran sesat yang sudah ada
pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah
pun ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional
Mu'tazilah
muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang
lebih kompleks dan sempurna baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani
Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran filsafat dan
rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu
al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak
sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy'ari
sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang
sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu
mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi,
sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat
dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi,
kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama
al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun
astrolobe. Al-Farghani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin oleh Gerard
Cremona dan Johannes
Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal
nama ar-Razi dan Ibnu Sina.
Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan
measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak.
Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibnu Sina
yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di
antara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi
kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal
sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang
dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang
mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan.
Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah
menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang
matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi.
Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar
berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang
sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di
antara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara
lain al-Farabi,
Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika,
jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles.
Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat, yang terkenal di
antaranya ialah asy-Syifa'. Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal
dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat,
sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.
Pada masa kekhalifahan ini, dunia Islam mengalami peningkatan besar-besaran di
bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar pada masa ini adalah
diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani, Persia, dan Hindustan.
Banyak golongan pemikir lahir zaman
ini, banyak di antara mereka bukan Islam dan bukan Arab Muslim. Mereka ini memainkan peranan yang penting dalam
menterjemahkan dan mengembangkan karya Kesusasteraan
Yunani dan Hindu, dan ilmu zaman pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat
Yunani yaitu Aristoteles terkenal di Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini
menyaksikan penemuan ilmu geografi, matematika,
dan astronomi
seperti Euclid dan
Claudius Ptolemy.
Ilmu-ilmu ini kemudiannya diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam seperti Al-Biruni
dan sebagainya.
Demikianlah kemajuan politik dan
kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di
kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan
peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan
kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan
Bani Abbas periode pertama, namun setelah periode ini berakhir, peradaban Islam
juga mengalami masa kemunduran. Wallahul Musta’an.
0 komentar:
Posting Komentar