teori masuknya islam


Islam merupakan agama dengan pemeluk terbesar di Indonesia. Hal tersebut tidak terlepas dari usaha para juru dakwah agama Islam dalam melakukan islamisasi di  Indonesia. Islamisasi adalah istilah umum yang biasa dipergunakan untuk menggambarkan proses persebaran Islam di Indonesia pada periode awal (abad 7-13 M), terutama menyangkut waktu kedatangan, tempat asal serta para pembawanya, yang terjadi tidak secara sistematis dan terencana. Inilah definisi  islamisasi  yang dimaksud dalam tulisan ini. Metodologi tulisan ini sepenuhnya merupakan penelitian kepustakaan (library research). Di sini penulis akan mencoba menguraikan beberapa pandangan mengenai teori Islamisasi di Indonesia secara deskriptif-analitis. Pembahasan mengenai masuknya Islam ke Indonesia sangat menarik terkait dengan banyaknya perbedaan pendapat di kalangan sejarawan. Masing-masing pendapat menggunakan berbagai sumber, baik dari arkeologi, beberapa tulisan dari berbagai sumber. Ada tiga pendapat tentang waktu masuknya Islam di Nusantara yaitu :
  1. Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke 7:
    1. Seminar masuknya islam di Indonesia (di Aceh) sebagian dasar adalah catatan perjalanan Al mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
    2. Seminar mengenai Masuknya Islam ke indonesia di medan pada Ahad 21-24 Syawal 1382 H (17-20 maret 1963 H) yang salah satu kesimpulannya adalah Islam telah masuk ke Indonesia langsung dari Arab.
    3. Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di sumatera dalam perjalannya ke China.
    4. Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M.
    5. Prof. Sayed Naguib Al Attas dalam Preliminary Statemate on General Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), di dalamnya mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M.
    6. Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to Malaysia mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah masuk ke Malaya.
    7. Prof. S. muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnya berjudul Islam di India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
    8. W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese sources, menjelaskan bahwa pada Hikayat Dinasti T’ang memberitahukan adanya Aarb muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun 674). (Ta Shih = Arab Muslim).
    9. T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M).
  2. Islam Masuk Ke Indonesia pada Abad ke-11:
    1. Satu-satunya sumber ini adalah diketemukannya makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik, yaitu makam Fatimah Binti Maimun dan rombongannya. Pada makam itu terdapat prasati huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun (dimasehikan 1082)
  3. Islam Masuk Ke Indonesia Pada Abad Ke-13:
    1. Catatan perjalanan Marcopolo, menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam Ferlec (mungkin Peureulack) di Aceh, pada tahun 1292 M.
    2. K.F.H. van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut adanya kerajaan Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.
    3. J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit hindoesten, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13.
    4. Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern; C. Snouck Hurgronje; dan Schrieke, lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13.
    5. Pendapat ini juga disampaikan oleh N.H. Krom dan Van Den Berg. Namun, pendapat ini memperoleh sanggahan dari : H. Agus Salim, M. Zainal Arifin Abbas, Sayeg Alwi bin Tahir Alhada, H.M Zainuddin, Hamka, Djuned Parinduri, T.W. Arnold yang berpendapat Islam masuk ke Indonesia telah dimulai sejak abad ke-7 M.
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar:
 Pertama, teori Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M.
Kedua, teori Mekkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M.
Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M.
Jika teori tersebut ditelaah lebih jauh, pendapat yang muncul akan cukup beragam. Bahkan beberapa diantaranya ada yang menyatakan bahwa Islam berasal dari Cina.
 Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari anak benua India, misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata mengenai wilayah Gujarat. Pendapat Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, E.O. Winstedt, B.J.O. Schrieke, dan lain-lainnya tersebut ternyata berbeda dengan yang dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan G.E. Morison. Pijnapel, seorang ahli Melayu dari Universitas Leiden, Belanda, mengemukakan teori ini pada tahun 1872. Menurut Azyumardi Azra teori ini diambil dari terjemahan Perancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marco polo dan Ibnu Battutah. Kesimpulan catatan Sulaiman menyebutkan bahwa Islam di Asia Tenggara dikembangkan oleh orang-orang Arab yang bermazhab Syafii dari Gujarat dan Malabar di India. Oleh karena itu, menurut teori ini,  Nusantara menerima Islam dari India. Kenyataan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India menurut teori ini tidak menunjukkan secara meyakinkan dilihat dari segi pembawanya. Sebagaimana dikemukakan Pijnapel, bahwa Islam di Nusantara berasal dari orang-orang Arab yang bermazhab Syafii yang bermigrasi ke Gujarat dan Malabar. Pijnappel sebenarnya memandang bahwa Islam di Nusantara disebarkan oleh orang-orang Arab. Pandangan ini cukup memberikan pengertian bahwa pada hakekatnya penyebar Islam di Nusantara adalah orang-orang Arab yang telah bermukim di India. Penjelasan ini didasarkan pada seringnya kedua wilayah India dan Nusantara ini disebut dalam sejarah Nusantara klasik. Dalam penjelasan lebih lanjut, Pijnapel menyampaikan logika terbalik, yaitu bahwa meskipun Islam di Nusantara dianggap sebagai hasil kegiatan orang-orang Arab, tetapi hal ini tidak langsung datang dari Arab, melainkan dari India, terutama dari pesisir barat, dari Gujarat dan Malabar. Jika logika ini dibalik, maka dapat dinyatakan bahwa meskipun Islam di Nusantara berasal dari India, sesungguhnya ia dibawa oleh orang-orang Arab.
Pendukung lain teori ini adalah Snouck Hurgronje. Ia berpendapat bahwa, ketika Islam telah mengalami perkembangan dan cukup kuat di beberapa kota pelabuhan di anak benua India, sebagian kaum Muslim Deccan tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara. Orang-orang Deccan inilah, kata Hurgronje, datang ke dunia Melayu-Indonesia sebagai penyebar Islam pertama. Orang-orang Arab menyusul kemudian pada masa-masa selanjutnya. Hubungan perdagangan Timur Tengah dan Nusantara menjadi entry point untuk melihat kehadiran Islam di Nusantara. Tetapi karena secara geografis, anak benua India berada di antara Nusantara dan Timur Tengah, maka dapat dipastikan bahwa sebagian padagang Muslim Arab dan juga Persia singgah terlebih dahulu di India sebelum mencapai Nusantara. Kenyataan ini tentu tidak diabaikan Hurgronje, hanya saja ia menekankan peran bangsa India dalam penyebaran Islam di Nusantara. Mengenai waktu kedatangannya, Hurgronje tidak menyebutkan secara pasti. Ia juga tidak menyebutkan secara pasti wilayah mana di India yang dipandang sebagai tempat asal datangnya Islam di Nusantara. Ia hanya memberikan prediksi waktu, yakni abad ke-12 sebagai periode yang paling mungkin sebagai awal penyebaran Islam di Nusantara. Dari segi metodologi sejarah, ketidakpastian tentang waktu dan tempat adalah kesalahan fundamental, sehingga argumentasi Hurgronje terlalu lemah, untuk tidak mengatakan keliru.
 Dukungan yang cukup argumentatif atas teori India disampaikan oleh W.F. Stutterheim. Ia menjawab aspek-aspek mendasar dalam sejarah, tentang di mana (ruang) dan kapan (waktu). Dengan jelas, ia menyebutkan Gujarat sebagai negeri asal Islam yang masuk ke Nusantara. Pendapatnya didasarkan pada argumen bahwa Islam disebarkan melalui jalur dagang antara Nusantara Cambay (Gujarat) Timur Tengah Eropa. Argumentasi ini diperkuat dengan pengamatannya terhadap nisan-nisan makam Nusantara yang diperbandingkan dengan nisan-nisan makam di wilayah Gujarat. Relief nisan Sultan pertama dari kerajaan Samudera (Pasai), al-Malik al-Saleh (1297 H), menurut pengamatan Stutterheim, bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat. Kenyataan ini cukup memberikan keyakinan pada dirinya bahwa Islam datang ke Nusantara dari Gujarat. Demikian ia menjelaskan aspek ruang kedatangan Islam ke Nusantara. Penjelasan ini cukup argumentatif dan didukung data yang memadai, tetapi Stutterheim tidak memperhatikan proses Islamisasi di Gujarat. Sebagaimana dijelaskan Marison, wilayah ini baru diislamkan satu tahun setelah wafatnya sang Sultan, yaitu pada 1298 M. Pada saat bersamaan penyebaran masyarakat Islam pada periode tersebut, ketika bangsa Mongol melebarkan ekspansinya (Bagdad ditaklukan pada 1258 M), mereka mulai mencari daerah baru bagi kehidupan mereka. Seandainya Stutterheim menyebutnya sebagai proses lebih lanjut dari Islamisasi Nusantara, misalnya perkembangan Islam pada abad 14-16, bisa jadi Gujarat ikut andil memberikan pengaruhnya di Nusantara mengingat daerah itu (Gujarat) lebih dekat secara geografis ke wilayah Nusantara. Walaupun terdapat kekurangan, teori yang dikemukakan Stutterheim mendapat dukungan dari Moquette, sarjana asal Belanda.
 Penelitian Moquette terhadap bentuk batu nisan membawanya pada kesimpulan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat. Moquette menjelaskan bahwa bentuk batu nisan, khususnya di Pasai mirip dengan batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim  (822 H/1419 M) di Gresik Jawa Timur. Sedangkan bentuk batu nisan di kedua wilayah itu sama dengan batu nisan yang terdapat di Cambay (Gujarat). Kesamaan bentuk pada nisan-nisan tersebut meyakinkan Moquette bahwa batu nisan itu diimpor dari India. Dengan demikian, Islam di Indonesia, menurutnya, berasal dari India, yaitu Gujarat. Teori ini kemudian dikenal juga dengan teori batu nisan.
Teori lainnya yang menjelaskan bahwa Islam berasal dari anak benua India dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan dikemukakan pula oleh Tome Pires. Ada beberapa alasan mengapa kedua tokoh ini berkeyakinan bahwa Islam berasal dari Benggal (Bangladesh sekarang). Tome Pires berpendapat bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Pendapat ini disetujui oleh Fatimi. Bahkan lebih jauh Fatimi menjelaskan, bahwa Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya adalah dari arah timur pantai, bukan dari barat Malaka, melalui Kanton, Pharang (Vietnam), Leran dan Trengganu. Proses awal Islamisasi ini, menurutnya, terjadi pada abad ke-11 M. Masa ini dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H atau 1082 M di Leran Gresik. Menurut M.C. Ricklef, ini adalah nisan kuburan Muslim tertua yang masih dapat ditemukan di wilayah ini. Berkenaan dengan teori batu nisan dari Stutterheim dan Moquette yang menyatakan Islam di Nusantara berasal dari India, Fatimi menentang keras pendapat ini. Menurutnya, bahwa menghubungkan seluruh batu nisan di Pasai dengan batu nisan dari Gujarat adalah suatu tindakan yang keliru. Berdasarkan hasil pengamatannya, Fatimi menyatakan, bentuk dan gaya batu nisan al-Malik al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Ia berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan itu mirip dengan batu nisan yang ada di Benggal. Oleh karena itu, batu nisan tersebut pasti didatangkan dari Benggal, bukan dari Gujarat. Analisis ini dipergunakan Fatimi untuk membangun teorinya yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Benggal. Tetapi terdapat kelemahan substansial pada Fatimi, bahwa perbedaan mazhab fikih yang dianut muslim Nusantara, yaitu para pengikut mazhab Syafii dengan para pengikut mazhab Hanafi tidak menjadi perhatiannya. Perbedaan mazhab fikih ini menjadikan teori Fatimi lemah dan tidak cukup kuat diyakini kebenarannya.
 Marison, dengan penjelasannya yang lebih komprehensif, mengidentifikasi Coromandel atau Malabar sebagai daerah asal Islam di Nusantara dan itu terjadi pada akhir abad ke 13 M. Ia tidak membangun teorinya berdasarkan kemiripan batu nisan yang terdapat di beberapa tempat di Nusantara dengan yang ada di Gujarat, atau bahkan di Benggal Menurutnya, kemiripan tersebut tidak harus menunjukkan bahwa Islam Nusantara datang dari daerah-daerah tersebut. Argumentasi yang diajukannya dibangun berdasarkan riwayat Melayu dan laporan Marcopolo. Menurut berita-berita tersebut, ketika raja Pasai pertama wafat tahun 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Cambay, Gujarat baru ditaklukan penguasa Muslim satu tahun kemudian pada 699 H/1298 M. Sebelum Marison mengemukakan pandangan ini, Arnold telah menyebutkan hal serupa. Marison, dengan demikian, memperkuat pendapat Arnold yang menyebutkan bahwa Coromandel dan Malabar merupakan daerah asal kedatangan Islam ke Nusantara. Arnold mengemukakan pendapatnya berdasarkan kesaksian Ibnu Battutah ketika mengunjungi kawasan ini pada abad ke-14 dan juga didasarkan pada kesamaan mazhab fikih di antara keduanya, yaitu Syafiï.
Sedangkan tentang teori bahwa Islam Indonesia berasal langsung dari Mekkah antara lain dikemukakan oleh Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Nieman (1861), de Hollander (1861), dan Verth (1878). Tokoh dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang mendukung teori ini di antaranya Hamka, A. Hasymi, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Al-Attas sebagai tokoh pendukung teori ini menyebutkan, bahwa aspek-aspek atau kerakteristik internal Islam harus menjadi perhatian penting dan sentral dalam melihat kedatangan Islam di Nusantara, bukan unsur-unsur luar atau aspek eksternal. Karakteristik ini dapat menjelaskan secara gamblang mengenai bentuk Islam yang berkembang di Nusantara. Lebih lanjut Al-Attas menjelaskan bahwa penulis-penulis yang diidentifikasi sebagai India dan kitab-kitab yang dinyatakan berasal dari India oleh sarjana Barat khususnya, sebenarnya adalah orang Arab dan berasal dari Arab atau Timur Tengah atau setidaknya Persia. Sejalan dengan hal ini, Hamka menyebutkan pula bahwa kehadiran Islam di Indonesia telah terjadi sejak abad ke-7 dan berasal dari Arabia sedangkan T.W. Arnold dan Crawford lebih didasarkan pada beberapa fakta tertulis dari beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu kekuatan Islam telah menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, bahwa ternyata di pesisir pantai Sumatera telah ada komunitas muslim yang terdiri dari pedagang asal Arab yang di antaranya melakukan pernikahan dengan perempuan-perempuan lokal. Pendapat ini didasarkan pada berita Cina yang menyebutkan, bahwa pada abad ke-7 terdapat sekelompok orang yang disebut Ta-shih yang bermukim di Kanton (Cina) dan Fo-lo-an (termasuk daerah Sriwijaya) serta adanya utusan Raja Ta-shih kepada Ratu Sima di Kalingga Jawa (654/655 M). Sebagian ahli menafsirkan Ta-shih sebagai orang Arab. Mengenai Raja Ta-shih tersebut, menurut Hamka, adalah Muawiyah bin Abu Sufyan yang saat itu menjabat sebagai Khalifah Daulah Bani Umayyah. Untuk meyakinkan asal usul Islam di Nusantara, seminar seputar masalah ini telah digelar beberapa kali. Seminar Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia telah diselenggarakan di Medan 17-20 Maret 1969 dan seminar serupa juga diadakan di Aceh pada 10-16 Juli 1978 dan 25-30 September 1980. Berdasarkan hasil seminar-seminar tersebut, disimpulkan bahwa Islam masuk ke Nusantara langsung dari Arabia, bukan India. Hasil seminar ini memperkuat teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Arab sebagaimana ditegaskan Al-Attas dan didukung oleh sejarawan Indonesia, seperti Hamka dan Muhammad Said. Kehadiran orang-orang Islam yang berasal dari Timur Tengah ke Nusantara(kebanyakan adalah dari Arab dan Persia) menurut Azyumardi Azra, ahli Islam di Asia Tenggara, terjadi pada abad ke-7. Masa-masa awal kehadiran Islam pertama kali dilaporkan oleh seorang agamawan dan pengembara terkenal dari Cina, bernama I-Tsing. Ia menginformasikan bahwa pada 51 H/671 M, ia menumpang kapal Arab dan Persia untuk berlayar dari Kanton dan berlabuh di pelabuhan muara sungai Bhoga, yang disebut juga Sribhoga atau Sribuza, yaitu Musi sekarang. Banyak sarjana modern mengidentifikasi Sribuza sebagai Palembang, ibukota kerajaan Budha Sriwijaya pada masa itu. Menurut Yuantchao kapal yang sampai di Palembang berjumlah sekitar 35 kapal dari Persia. Secara geografis, letak Sriwijaya yang berada di jalur perdagangan internasional memberi pengaruh besar terhadap dunia luar. Beperapa peristiwa yang terjadi di luar daerah kekuasaannya, misalnya perubahan politik di India yang saat itu di bawah hegemoni Buddha, menjadikan Sriwijaya sebagai wilayah Buddha yang dapat dijadikan pilihan. Ini menempatkan Sriwijaya sebagai pusat terkemuka keilmuwan Buddha di Nusantara. I-Tsing, yang menghabiskan beberapa tahun di Palembang dalam perjalanannya menuju ke dan kembali dari India, merekomendasikan Sriwijaya sebagai pusat keilmuwan Buddha yang baik bagi para penuntut ilmu agama ini sebelum mereka melanjutkan pelajaran ke India. Meskipun Sriwijaya sebagai pusat keilmuwan Buddha, tetapi ia memiliki watak yang kosmopolitan. Kondisi ini memungkinkan masuknya berbagai pengaruh atau ajaran lain, termasuk agama Islam. Watak Sriwijaya yang kosmopolitan itulah yang memungkinkan para pengungsi Muslim Arab dan Persia yang diusir dari Kanton setelah terjadi kerusuhan di sana, mereka melakukan eksodus menuju Palembang untuk mencari suaka politik dari penguasa setempat. Bukti lain yang menunjukkan bahwa Islam berasal dari Arab yaitu :
Terdapat juga sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind yang ditulis al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M, dikatakan bahwa para pedagang muslim telah banyak berkunjung kala itu ke kerajaan Sriwijaya
Menurut al Mas’udi pada tahun 916 telah berjumpa Komunitas Arab dari Oman, Hidramaut, Basrah, dan Bahrein untuk menyebarkan islam di lingkungannya, sekitar Sumatra, Jawa, dan Malaka.
Munculnya nama “kampong Arab” dan tradisi Arab di lingkungan masyarakat, yang banyak mengenalkan islam.
Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafii, dimana pengaruh mazhab Syafii terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah.
            Teori Persia yang dikemukakan oleh sebagian sejarawan di Indonesia tampaknya kurang populer dibanding teori-teori sebelumnya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya pada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.Kesamaan kebudayaan itu antara lain
<!–[if !supportLists]–>1)            <!–[endif]–>Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan syiah atas kematian Husain. Biasanya diperingati dengan membuat bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut juga bulan Hasan-Husain.
Adanya kesamaan ajaran antara ajaran Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal pada 310H/922M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.
<!–[if !supportLists]–>3)            <!–[endif]–>Penggunan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran tingkat awal.
Teori Persia mendapat tentangan dari berbagai pihak, karena bila kita berpedoman kepada masuknya agama Islam pada abad ke-7, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umayyah. Sedangkan, saat itu kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan berada di Mekkah, Madinah, Damaskus dan Baghdad. Jadi, belum memungkinkan bagi Persia untuk menduduki kepemimpinan dunia Islam saat itu.Namun, beberapa fakta lainnya menunjukkan bahwa para pedagang Persia menyebarkan Islam dengan beberapa bukti antar lain:
  1. Gelar “Syah” bagi raja-raja di Indonesia.
  2. Pengaruh aliran “Wihdatul Wujud” (Syeh Siti Jenar).
  3. Pengaruh madzab Syi’ah (Tabut Hasan dan Husen).
Teori lainnya menyatakan bahwa Islam juga berasal dari Cina. Teori ini sangat lemah, namun kemungkinan membawa Islam ke Indonesia sangat besar. Jika diketahui penyebar Islam adalah banyak mereka para wirausahawan, hubungan dagang antara Cina, Arab dan lainnya. Bahkan ketika Cina dipimpin Kubilai Khan, (akhir abad 13) Islam dijadikan agama resmi. Sedangkan Cheng Ho merupakan duta Cina untuk mengembalikan nama besar Cina setelah dipermalukan oleh Mongol. Ada 36 negara yang dikunjungi Cheng Ho, dan salah satunya adalah Indonesia.
Bukti lain yang cukup memperkuat bahwa Islam berasal dari Cina antar lain :
  1. Gedung Batu di semarang (masjid gaya China).
  2. Beberapa makam Cina muslim.
  3. Beberapa wali yang kemungkinkan keturunan China.
Dari beberapa bangsa yang membawa Islam ke Indonesia pada umumnya menggunakan pendekatan kultural, sehingga terjadi dialog budaya dan pergaulan sosial yang penuh toleransi (Umar kayam:1989).
Berbicara tentang sejarah tentu tidak akan terlepas dari beberapa aspek yang melingkupinya ia tidak sekedar mengungkapkan kuantitas dari data-data yang diperoleh di lapangan,  namun berusaha mengungkap hal-hal mendasar dibalik terjadinya proses sejarah tersebut, terutama segala aspek yang menyangkut sosiologi, politik dan budaya sebagai proses menuju perbaikan. Berdasarkan berbagai paparan sejarah masuknya Islam di nusantara, kita bisa mengambil ibroh atau pelajaran berharga tentang dakwah Islam yang dilakukan oleh pata pendahulu kita. Keuletan dan kegigihan para juru dakwah yang berasal dari berbagai tempat dalam menyampaikan ajaran Islam  mampu menjadikan negara Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia menjadikan sebuah prestasi yang gemilang bagi mereka para juru dakwah di Nusantara. Hal ini  tentu menjadi teladan dan semangat bagi kita semua untuk mempertahankan prestasi tersebut dengan mensyiarkan Islam lebih luas

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.SEJARAH UMAYYAH
Dinasti Umayyah adalah kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Mu'awiyah ibn Abi Sofyan pada tahun 41 H/661 M. tahun ini disebut dengan 'Aam al-Jama'ah karena pada tahun ini semua umat islam sepakat atas ke-kholifah-an Mu'awiyah dengan gelar Amir al-Mu'minin. Menurut catatan sejarah dinasti Umayyah ini terbagi menjadi dua periode, yaitu :
1. Dinasti Umayyah I di Damaskus (41 H/661 M – 132 H/750 M), dinasti ini berkuasa kurang lebih selama 90 tahun dan mengalami pergantian pemimpin sebanyak 14 kali. Diantara kholifah besar dinasti ini adalah Muawiyyah ibn Abi Sofyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan (685-705 M), al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M), dan Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M).2 Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Akhirnya, pada tahun 750 M, dinasti ini digulingkan oleh dinasti Abbasiyyah.
2. Dinasti Umayyah II di Andalus/Spanyol (755 – 1031 M), kerajaan Islam di Spanyol ini didirikan oleh Abd al-Rahman I al- Dakhil. Ketika Spanyol berada di bawah kekuasaan dinasti Umayyah  II ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan. Terutama pada masa kepemimpinan Abd al-Rahman al-Ausath, pendidikan islam menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Hal ini desebabkan karena sang kholifah sendiri terkenal sebagai penguasa yang cinta ilmu. Ia mengundang para ahli dari dunia islam lainnya ke Spanyol sehingga kegiatan ilmu pengetahuan di sana menjadi kian semarak (Badri Yatim, 2003: 95). Awal dari kehancuran dinasti Umayyah II di Spanyol ini bermula ketika Hisyam II (400 H/1009 M – 403 H/1013 M) naik tahta dalam usia 11 tahun. Pada tahun 981 M khalifah menunjuk Ibn Abi 'Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Pada tahun 1009 M khalifah mengundurkan diri akibat beberapa kekacauan. Beberapa orang yang dicoba untuk menduduki jabatan itu tidak ada yang sanggup memperbaiki keadaan. Akhirnya pada tahun 1013 M Dewan Mentri menghapus jabatan khalifah. Ketika itu Spanyol sudah terpecah menjadi beberapa negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu.

BAB II
URAIAN
Sejarah pendidikan Islam pada hakekatnya sangat berkaitan erat dengan sejarah Islam. Periodesasi pendidikan Islam selalu berada dalam periode sejarah Islam itu sendiri. Secara garis besarnya Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode. Yaitu periode Klasik, Pertengahan dan Modern.  Kemudian perinciannya dapat dibagi lima periode, yaitu: Periode Nabi Muhammad SAW (571-632 M), periode Khulafa ar Rasyidin (632-661 M), periode kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M), periode kekuasaan Abbasiyah (750-1250 M) dan periode jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250-sekarang).[1][1] Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menggambarkan tentang pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah.
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan Muawiyyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur sebelumnya. Muawwiyah Ibn Abi Sofyan adalah pendiri Dinasti Umayyah yang berasal dari suku Quraisy keturunan Bani Umayyah yang merupakan khalifah pertama dari tahun 661-750 M, nama lengkapnya ialah Muawwiyah bin Abi Harb bin Umayyah bin Abdi Syam bin Manaf.[2][2]
Setelah Muawwiyah diangkat jadi khalifah ia menukar sistem pemerintahan dari Theo Demikrasi menjadi Monarci (Kerajaan/Dinasti) dan sekaligus memindahkan Ibu Kota Negara dari Kota Madinah ke Kota Damaskus.  Muawwiyah lahir 4 tahun menjelang Nabi Muhammad SAW menjalankan Dakwah Islam di Kota Makkah, ia beriman dalam usia muda dan ikut hijrah bersama Nabi ke Yastrib.  Disamping itu termasuk salah seorang pencatat wahyu, dan ambil bagian dalam beberapa peperangan bersama Nabi.[3][3]
Pada masa khalifah Abu Bakar Siddiq dan Kalifah Umar ibn Khattab, Umayyah menjabat sebagai panglima pasukan dibawah pimpinan Ubaidah ibn Jarrah untuk wilayah Palestina, Suriah dan Mesir.  Pada masa khalifah Usman ibn Affan ia diangkat menjadi Wali untuk wilayah Suriah yang berkedudukan di Damaskus. Pada masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib tahun 661 M diwarnai dengan krisis dan pertentangan yang sangat tajam di wilayah Islam dimana ditandai dengan perang Shuffin yang pada akhirnya Ali ibn Abi Thalib mati terbunuh sewaktu shalat shubuh di Masjid Nabawi Madinah.[4][4]
Sepeninggal Ali ibn Abi Thalib tahun 661 M sebagian umat Islam di Iraq memilih dan mengangkat Hasan ibn Ali ibn Thalib menjadi Khalifah.  Akan tetapi Hasan adalah orang yang taat, bersikap damai serta tidak tega dengan perpecahan dalam Islam. Akhirnya diadakanlah serah terima kekuasaan di Kota Khuffah.  Dengan demikian dimulailah Dinasti Umayyah.
Pada dinasti Umayyah perluasan daerah Islam sangat luas sampai ke timur dan barat. Begitu juga dengan daerah Selatan yang merupakan tambahan dari Daerah Islam di zaman Khulafa ar Rasyidin yaitu: Hijaz, Syiria, Iraq, Persia dan Mesir.
Seiring dengan itu pendidikan pada priode Danasti Umayyah telah ada beberapa lembaga seperti: Kuttab, Masjid dan Majelis Sastra.  Materi yang diajarkan bertingkat-tingkat dan bermacam-macam.  Metode pengajarannya pun tisak sama.  Sehingga melahirkan beberapa pakar ilmuan dalam berbagai bidang tertentu.[5][5]

2.1.     Pola Pendidikan Islam Pada Priode Dinasti Umayyah

Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentrasi. Desentrasi artinya pendidikan tidak hanya terpusat di ibu kota Negara saja tetapi sudah dikembangkan secara otonom di daerah yang telah dikuasai seiring dengan ekspansi teritorial.[6][6] Sistem pendidikan ketika itu belum memiliki tingkatan dan standar umur.[7][7] Kajian ilmu yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan Palestina (Syam), Fistat (Mesir). Diantara ilmu-ilmu yang dikembangkannya, yaitu: kedokteran, filsafat, astronomi atau perbintangan, ilmu pasti, sastra, seni baik itu seni bangunan, seni rupa, maupun seni suara.[8][8]
Pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafa ar Rasyidin yang ditandai dengan semaraknya kegiatan ilmiah di masjid-masjid dan berkembangnya Khuttab serta Majelis Sastra.  Jadi tempat pendidikan pada periode Dinasti Umayyah adalah:
1.    Khuttab
Khuttab atau Maktab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis, jadi Khuttab adalah tempat belajar menulis. Khuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Al Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam.[9][9]
Adapun cara yang dilakukan oleh pendidik disamping mengajarkan Al Quran mereka juga belajar menulis dan tata bahasa serta tulisan.  Perhatian mereka bukan tertumpu mengajarkan Al Quran semata dengan mengabaikan pelajaran yang lain, akan tetapi perhatian mereka pada pelajaran sangat pesat.  Al Quran dipakai sebagai bahasa bacaan untuk belajar membaca, kemudian dipilih ayat-ayat yang akan ditulis untuk dipelajari.  Disamping belajar menulis dan membaca murid-murid juga mempelajari tata bahasa Arab, cerita-cerita Nabi, hadist dan pokok agama.[10][10]
Kalau dilihat di dalam sejarah pendidikan Islam pada awalnya dikenal dua bentuk Kuttab, yaitu:
1.    Kuttab berfungsi sebagai tempat pendidikan yang memfokuskan pada tulis baca.[11][11]
2.    Kuttab tempat pendidikan yang mengajarkan Al Quran dan dasar-dasar keagamaan.[12][12]
Ilmu-ilmu yang diajarkan pada Kuttab pada mula-mulanya adalah dalam keadaan sederhana, yaitu:
a. Belajar membaca dan menulis
b. Membaca Al-Qur’an dan menghafalnya
          c. Belajar pokok-pokok agama Islam, seperti cara wudhu, shalat, puasa dan sebagainya.
          Ilmu-ilmu yang diajarkan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari:
a. Al-Qur’an dan tafsirannya.
b. Hadis dan mengumpulkannya.
c. Fiqh (tasri’).
Peserta didik dalam Khutab adalah anak-anak, tidak dibatasi baik miskin ataupun kaya.  Para guru tidak membedakan murid-murid mereka, bahkan ada sebagian anak miskin yang belajar di Khuttab memperoleh pakaian dan makanan secara cuma-cuma.  Anak-anak perempuan pun memperoleh hak yang sama dengan anak-anak laki-laki dalam belajar.[13][13]  Namun tidak tertutup kemungkinan bagi orang yang mampu mendidik anak-anak mereka di tempat khusus yang mereka inginkan dengan guru-guru yang khusus pula seperti: Hajjad ibn Yusuf yang pernah menjadi guru bagi putra Sulaiman Nasuh seorang Menteri dari khalifah Abdul Malik ibn Marwan. [14][14]
2.      Masjid
Setelah pelajaran anak-anak di khutab selesai mereka melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah yang dilakukan di masjid.  Peranan Masjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang merasa dirinya tetap dan mampu untuk memberikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan.
Pada Dinasti Umayyah, Masjid merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah khuttab.  Pelajaran yang diajarkan meliputi Al Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh.  Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu perbintangan.[15][15]
Diantara jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan Masjid sebagai pusat aktifitas ilmiah termasuk sya’ir. Sejarah bangsa terdahulu diskusi dan akidah. Pada periode ini juga didirikan Masjid ke seluruh pelosok daerah Islam. Masjid Nabawi di Madinah dan Masjidil Haram di Makkah selalu menjadi tumpuan penuntut ilmu diseluruh dunia Islam dan tampak juga pada pemerintahan Walid ibn Abdul Malik 707-714 M yang merupakan Universitas terbesar dan juga didirikan Masjid Zaitunnah di Tunisia yang dianggap Universitas tertua sampai sekarang.[16][16]
Pada Dinasti Umayyah ini, masjid sebagai tempat pendidikan terdiri dari dua tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat menengah guru belumlah ulama besar sedangkan pada tingkat tinggi gurunya adalah ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman dan keahliannya. Umumnya pelajaran yang diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang, baik di Khuttab atau di Masjid tingkat menengah. Sedangkan pada tingkat pelajaran yang diberikan oleh guru adalah dalam satu Halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama.
3.      Majelis Sastra
Majelis sastra merupakan balai pertemuan yang disiapkan oleh khalifah dihiasi dengan hiasan yang indah, hanya diperuntukkan bagi sastrawan dan ulama terkemuka.  Menurut M. Al Athiyyah Al Abrasy “Balai-balai pertemuan tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan seseorang yang masuk ketika khalifah hadir, mestilah berpakaian necis bersih dan rapi, duduk di tempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak, tidak meludah, tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanya. Ia  tidak boleh bersuara keras dan harus bertutur kata dengan sopan dan memberi kesempatan pada sipembicara menjelaskan pembicaraannya serta menghindari penggunaan kata kasar dan tawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan seperti ini disediakan pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan”.[17][17]
Hal diatas sesuai dengan wasiat Abdul Malik ibn Harman kepada pendidik puteranya dengan pesan “Ajarkan kepada mereka berkata benar disamping mengajarkan Al Quran. Jauhkanlah mereka dari orang-orang jahat yang tidak mengindahkan perintah Allah dan tidak berlaku sopan, dan jauhkan juga mereka chadam dan pekerjaannya karena bergaul dengan mereka akan dapat merusak moralnya.  Gunakanlah perasaan mereka agar badannya kuat, dan serahkanlah mereka bersufi dan air dengan menghisabnya pelan-pelan dan jangan minum tidak senonoh bila memerlukan teguran hendaklah secara tertutup, jangan sampai diketahui oleh pelayan dan tamu agar mereka tidak dipandang rendah.[18][18]
Majelis sastra merupakan tempat berdiskusi membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan politik.  Perhatian penguasa Ummayyah sangat besar pada pencatatan kaidah-kaidah nahwu, pemakaian Bahasa Arab dan mengumpulkan Syair-syair Arab dalam bidang syariah, kitabah dan berkembangnya semi prosa.[19][19]
4.       Pendidikan Istana, yaitu pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi anak-anak khalifah dan para pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah, maka kurikulumnya diatur oleh guru dan orang tua murid.[20][20]
5.      Pendidikan Badiah, yaitu tempat belajar bahasa arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul Malik ibn Marwan memprogramkan arabisasi maka muncul istilah badiah, yaitu dusun badui di Padang Sahara mereka masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa arab tersebut. Sehingga banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke badiah untuk belajar bahasa arab bahkan ulama juga pergi ke sana di antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad. [21][21]
6. Pendidikan Perpustakaan, pemerintah dinasti umayyah mendirikan perpustakaan yang besar di Cordova pada masa khalifah Al Hakam ibn Nasir. [22][22]
7. Bamaristan, yaitu rumah sakit tempat berobat dan merawat orang serta tempat studi kedokteran. Cucu Muawiyah Khalid ibn Yazid sangat tertarik pada ilmu kimia dan kedokteran. Ia menyediakan sejumlah harta dan memerintahkan para sarjana yunani yang ada di Mesir untuk menerjemahkan buku kimia dan kedokteran ke dalam bahasa arab. Hal ini menjadi terjemahan pertama dalam sejarah sehingga al Walid ibn Abdul Malik memberikan perhatian terhadap bamaristan.[23][23]
Usaha yang tidak kalah pentingnya pada masa Dinasti Umayyah ini dimulainya penterjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam Bahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Khalid ibn Yazid ia memerintahkan beberapa sarjana Yunani da Qibti ke dalam Bahasa Arab tentang ilmu Kimia, Kedokteran dan Ilmu Falaq.[24][24]
Pada periode Dinasti Umayyah ini terkenal sibuk dengan pemberontakan dalam negeri dan sekaligus memperluas daerah kerajaan tidak terlalu banyak memusatkan perhatian pada perkembangan ilmiah, akan tetapi muncul beberapa ilmuwan terkemuka dalam berbagai cabang ilmu seperti yang dikemukana oleh Abd. Malik Ibn Juraid al Maki dan cerita peperangan serta syair dan Kitabah.[25][25]
Ilmu tafsir memiliki makna yang  strategis, disamping karena faktor luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa konsekwensi lemahnya rasa seni sastra arab, juga karena banyaknya yang masuk Islam.  Hal ini menyebabkan pencemaran bahasa Al Quran dan makna Al Quran yang digunakan untuk kepentingan golongan tertentu.  Pencemaran Al Quran juga disebabkan oleh faktor intervensi yang didasarkan kepada kisah-kisah Israiliyyat.  Tokohnya adalah Abd Malik ibn Juraid al Maki.  Selain ilmu tafsir ilmu hadist juga mendapatkan perhatian serius.  Pentingnya periwayatan hadist sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah maupun secara moral.  Namun keberhasilan yang diraihnya adalah semangat untuk mencari hadist, sebelum mencapai tahap kodifikasi.  Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang memerintah hanya dua tahun 717-720 M pernah mengirim surat kepada Abu Bakar ibn Amir bin Ham dan kepada ulama yang lain untuk menuliskan dan mengumpulkan hadist-hadist, namun hingga akhir pemerintahannya hal itu tidak terlaksana. Sungguhpun demikian pemerintahan Umar ibn Aziz telah melahirkan metode pendidikan alternative, yakni para ulama mencari hadist ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya yang kemudian dikenal metode Rihlah.
Dibidang fiqh secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu aliran ahli al-Ra’y dan aliran al hadist, kelompok aliran pertama ini mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi atau Qiyas, sedangkan aliran yang kedua lebih berpegang pada dalil-dalil, bahkan aliran ini tidak akan memberikan fatwa jika tidak ada ayat Al Quran dan hadits yang menerangkannya.  Nampaknya disiplin ilmu fiqh menunjukkan  perkembangan yang sangat berarti.  Periode ini telah melahirkan sejumlah mujtahid fiqh.  Terbukti ketika akhir masa Umayyah telah lahir tokoh mazhab yakni Imam Abu Hanifah di Irak dan Imam Malik Ibn Anas di Madinah, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal lahir pada masa Abbasyiyah.[26][26]
Dibidang syair yang terkenal dikalangan orang Arab diantaranya adalah tentang pujian, syairnya adalah:
Artinya :       Engkau adalah pengendara kuda yang paling baik, engkau adalah orang yang pemurah di atas dunia ini
Periode Dinasti Umayyah pada bidang pendidikan, adalah menekankan ciri ilmiah pada Masjid sehingga menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan tinggi dalam masyarakat Islam.  Dengan penekanan ini di Masjid diajarkan beberapa macam ilmu, diantaranya syair, sastra dan ilmu lainnya.  Dengan demikian periode antara permulaan abad ke dua hijrah sampai akhir abad ketiga hijrah merupakan zaman pendidikan Masjid yang paling cemerlang.
Nampaknya pendidikan Islam pada masa periode Dinasti Umayyah ini hampir sama dengan pendidikan pada masa Khulafa ar Rasyiddin.  Hanya saja memang ada sisi perbedaan perkembangannya.  Perhatian para Khulafa dibidang pendidikan agaknya kurang memperhatikan perkembangannya sehingga kurang maksimal, pendidikan berjalan tidak diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki pengetahuan yang mendalam.  Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah hampir tidak ditemukan.  Jadi sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan politis dan golongan.
Walaupun demikian pada periode Dinasti Umayyah ini dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata laksana dan seni bangunan.  Pada umumnya gerakan penerjemahan ini terbatas keadaan orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan.  Menurut Franz Rosenthal orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid cucu dari Muawwiyah.[27][27]
Selain kemajuan seperti di atas ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah:
1. Ilmu agama, seperti: Al-Qur’an, Haist, dan Fiqh. Proses pembukuan Hadist terjadi pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz sejak saat itulah hadis mengalami perkembangan pesat.
2. Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Ubaid ibn Syariyah Al Jurhumi berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah.
3. Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segla ilmu yang mempelajari bahasa, nahu, saraf, dan lain-lain.
4. Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.[28][28]
2.2. TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN PADA MASA BANI UMAYYAH
Tokoh-tokoh pendidikan pada masa Bani Umayyah terdiri dari ulama-ulama yang menguasai bidangnya masing-masing seperti dalam bidang tafsir, hadist, dan Fiqh. Selain para ulama juga ada ahli bahasa/sastra.
1.    Ulama-ulama tabi’in ahli tafsir, yaitu: Mujahid, ‘Athak bin Abu Rabah, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Masruq bin Al-Ajda’, Qatadah. Pada masa tabi’in tafsir Al-Qur’an bertambah luas dengan memasukkan Israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak orang-orang Yahudi dan Nasrani memeluk agama Islam. Di antara mereka yang termasyhur: Ka’bul Ahbar, Wahab bin Munabbih, Abdullah bin Salam, Ibnu Juraij.
2.    Ulama-ulama Hadist: Kitab bacaan satu-satunya ialah al-Qur’an. Sedangkan hadis-hadis belumlah dibukukan. Hadis-hadis hanya diriwayatkan dari mulut ke mulut. Dari mulut guru ke mulut muridnya, yaitu dari hafalan uru diberikannya kepada murid, sehingga menjdi hafalan murid pula dan begitulah seterusnya. Setengah sahabat dan pelajar-pelajar ada yang mencatat hadist-hadist itu dalam buku catatannya, tetapi belumlah berupa buku menurut istillah kita sekarang. Ulama-ulama sahabat yang banyak meriwayatkan hadis-hadis ialah: Abu Hurairah (5374 hadist), ‘Aisyah (2210 hadist), Abdullah bin Umar (± 2210 hadist), Abdullah bin Abbas (± 1500 hadist), Jabir bin Abdullah (±1500 hadist), Anas bin Malik (±2210 hadist).
3.    Ulama-ulama ahli Fiqh: Ulama-ulama tabi’in Fiqih pada masa bani Umayyah diantaranya adalah:, Syuriah bin Al-Harits, ‘alqamah bin Qais, Masuruq Al-Ajda’,Al-Aswad bin Yazid kemudian diikuti oleh murid-murid mereka, yaitu: Ibrahim An-Nakh’l (wafat tahun 95 H) dan ‘Amir bin Syurahbil As Sya’by (wafat tahun 104 H). sesudah itu digantikan oleh Hammad bin Abu Sulaiman (wafat tahubn 120 H), guru dari Abu Hanafiah.
4.    Ahli bahasa/sastra: Seorang ahli bahasa seperti Sibawaih yang karya tulisnya Al-Kitab, menjadi pegangan dalam soal berbahasa arab. Sejalan dengan itu, perhatian pada syair Arab jahiliahpun muncul kembali sehingga bidang sastra arab mengalami kemajuan. Di zaman ini muncul penyair-penyair seperti Umar bin Abu Rabiah (w.719), Jamil al-uzri (w.701), Qys bin Mulawwah (w.699) yang dikenal dengan nama Laila Majnun, Al-Farazdaq (w.732), Jarir (w.792), dan Al akhtal (w.710). sebegitu jauh kelihatannya kemajuan yang dicapai Bani Umayyah terpusat pada bidang ekspansi wilayah, bahasa dan sastra arab, serta pembangunan fisik. Sesungguhnya dimasa ini gerakan-gerakan ilmiah telah berkembang pula, seperti dalam bidang keagamaan, sejarah dan filsafat. Dalam bidang yang pertama umpamanya dijumpai ulama-ulama seperti Hasan al-Basri, Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Wasil bin Ata. Pusat kegiatan ilmiah ini adalah Kufah dan Basrah di Irak. Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah (w. 794/709) adalah seorang orator dan penyair yang berpikir tajam. Ia adalah orang pertama yang menerjemahkan buku-buku tentang astronomi, kedokteran, dan kimia.

a.        MADRASAH/UNIVERSITAS PADA MASA BANI UMAYYAH

Perluasan negara Islam bukanlah perluasan dengan merobohkan dan menghancurkan, bahkan perluasan dengan teratur diikuti oleh ulama-ulama dan guru-guru agama yang turut bersama-sama tentara Islam. Pusat pendidikan telah tersebar di kota-kota besar sebagai berikut: di kota Mekkah dan Madinah (HIjaz),di kota Basrah dan Kufah (Irak), di kota Damsyik dan Palestina (Syam), di kota Fistat (Mesir). Madrasah-madrasah yang ada pada masa Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
1) Madrasah Mekkah: Guru pertama yang mengajar di Makkah, sesudah penduduk Mekkah takluk, ialah Mu’az bin Jabal. Ialah yang mengajarkan Al Qur’an dan mana yang halal dan haram dalam Islam. Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan Abdullah bin Abbas pergi ke Mekkah, lalu mengajar disana di Masjidil Haram. Ia mengajarkan tafsir, fiqh dan sastra. Abdullah bin Abbaslah pembangunan madrasah Mekkah, yang termasyur seluruh negeri Islam.
2) Madrasah Madinah: Madrasah Madinah lebih termasyur dan lebih dalam ilmunya, karena di sanalah tempat tinggal sahabat-sahabat nabi. Berarti disana banyak terdapat ulama-ulama terkemuka.
3) Madrasah Basrah: Ulama sahabat yang termasyur di Basrah ialah Abu Musa Al-asy’ari dan Anas bin Malik. Abu Musa Al-Asy’ari adalah ahli fiqih dan ahli hadist, serta ahli Al Qur’an. Sedangkan Abas bin Malik termasyhur dalam ilmu hadis. Al-Hasan Basry sebagai ahli fiqh, juga ahli pidato dan kisah, ahli fikir dan ahli tasawuf. Ia bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada pelajar-pelajar, bahkan juga mengajar orang banyak dengan mengadakan kisah-kisah di masjid Basrah.
4) Madrasah Kufah: Madrasah Ibnu Mas’ud di Kufah melahirkan enam orang ulama besar, yaitu: ‘Alqamah, Al-Aswad, Masroq, ‘Ubaidah, Al-Haris bin Qais dan ‘Amr bin Syurahbil. Mereka itulah yang menggantikan Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas’ud menjadi guru di Kufah. Ulama Kufah, bukan saja belajar kepada Abdullah bin Mas’ud. Bahkan mereka pergi ke Madinah.
5) Madrasah Damsyik (Syam): Setelah negeri Syam (Syria) menjadi sebagian Negara Islam dan penduduknya banyak memeluk agama Islam. Maka negeri Syam menjadi perhatian para Khilafah. Madrasah itu melahirkan imam penduduk Syam, yaituAbdurrahman Al-Auza’iy yang sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu-Hanafiah. Mazhabnya tersebar di Syam sampai ke Magrib dan Andalusia. Tetapi kemudian mazhabnya itu lenyap, karena besar pengaruh mazhab Syafi’I dan Maliki.
6) Madrasah Fistat (Mesir): Setelah Mesir menjadi negara Islam ia menjadi pusat ilmu-ilmu agama. Ulama yang mula-mula madrasah madrasah di Mesir ialah Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘As, yaitu di Fisfat (Mesir lama). Ia ahli hadis dengan arti kata yang sebenarnya. Karena ia bukan saja menghafal hadis-hadis yang didengarnya dari Nabi S.A.W., melainkan juga dituliskannya dalam buku catatan, sehingga ia tidak lupa atau khilaf meriwayatkan hadis-hadis itu kepada murid-muridnya. Oleh karena itu banyak sahabat dan tabi’in meriwayatkan hadis-hadis dari padanya. Karena pelajar-pelajar tidak mencukupkan belajar pada seorang ulama di negeri tempat tinggalnya, melainkan mereka melawat ke kota yang lain untuk melanjutkan ilmunya. Pelajar Mesir melawat ke Madinah, pelajar Madinah melawat ke Kufah, pelajar Kufah melawat Syam, pelajar Syam melawat kian kemari dan begitulah seterusnya. Dengan demikian dunia ilmu pengetahuan tersebar seluruh kota-kota di Negara Islam.
2.4. DISKUSI
Masalah pendidikan pada masa Dinasti Umayah
Dari uraian di atas, maka pada masa dinasti Umayah telah terjadi perubahan sistem pemerintahan, yakni dari Theo Demokrasi menjadi Monarci (Kerajaan/Dinasti). Ini tidak terlepas dari pengaruh situasi politik pada saat itu. Pendidikan sebagai suatu sistem di suatu wilayah, tentunya tidak dapat dipisahkan dari situasi politik di wilayah tersebut. Berubah-ubahnya kebijakan politik membuat berubah-ubahnya kebijaksanaan penguasa terhadap pelaksanaan pendidikan Islam. Oleh karena itu, pertanyaan diskusi yang pertama adalah bagaimana pengaruh situasi politik terhadap kebijakan pemerintah dalam pendidikan Islam? Selain dari pengaruh situasi politik, pengembangan pendidikan Islam pada masa dinasti umayah ini mengalami hambatan yang datang dari dunia barat, seperti Yunani. Oleh karena itu, pertanyaan diskusi yang kedua adalah bagaimana pola pendidikan Islam pada masa itu mampu mengimbangi tantangan dari dunia barat?
Pemecahan Masalah pendidikan pada masa Dinasti Umayah
Situasi politik yang pada awal masa dinasti Umayah masih belum stabil. Ini dikarenakan upaya peralihan kekuasaan dari Hasan dianggap dilakukan atas dasar kelicikan. Sebelumnya Muawwiyyah telah berjanji tidak akan merubah sistem pemerintahan. Akan tetapi, Muawwiyyah tetap merubah sistemnya menjadi Monarci (Kerajaan/Dinasti). Ini sangat berdampak sekali terhadap pola pendidikan Islam pada masa itu. Pada masa sebelum dinasti Umayah, pendidikan difokuskan di Khuttab dan di Masjid. Setelah sistem Monarki diberlakukan, maka secara otomatis pemilihan raja didasarkan atas garis keturunan. Ini mengakibatkan munculnya pendidikan istana. Pendidikan ini bertujuan agar anak-anak para raja diajarkan ilmu-ilmu tentang kepemimpinan dari sebuah kerajaan. Kurikulum dalam pendidikan istana inipun berbeda dengan kurikulum yang diberlakukan di Khuttab atau masjid. Kurikulum di pendidikan istana ini ditentukan dan diatur oleh guru dan orangtua. Ini menyebabkan terjadi perbedaan kurikulum. Selain itu, seiring dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Umayyah, menyebabkan penggunaan bahasa Arab semakin berkembang. Ini menyebabkan berdirinya Pendidikan Badiah, yaitu tempat belajar bahasa arab yang fasih dan murni. Hal ini terjadi ketika khalifah Abdul Malik ibn Marwan memprogramkan arabisasi maka muncul istilah badiah, yaitu dusun badui di Padang Sahara mereka masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa arab tersebut. Sehingga banyak khalifah yang mengirimkan anaknya ke badiah untuk belajar bahasa arab bahkan ulama juga pergi ke sana di antaranya adalah Al Khalil ibn Ahmad.
Untuk mengimbangi dengan tantangan dari Negara Barat, maka pemerintah tidak hanya memfokuskan pelajaran terhadap pelajaran agama Islam saja. Akan tetapi, pemerintah pada saat itu telah memeulia kegiatan penterjemahan terhadap buku-buku yang dikarang oleh orang barat. Ini bertujuan agar orang-orang Islam bisa memperoleh ilmu dari buku tersebut. tetapi penerjemahan itu terbatas pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu kimia, kedokteran, ilmu tata laksana dan seni bangunan.  Pada umumnya gerakan penerjemahan ini terbatas keadaan orang-orang tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak dilembagakan.  Menurut Franz Rosenthal orang yang pertama kali melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid cucu dari Muawwiyah. Sedangkan ilmu-ilmu yang di salin dari bahasa Asing ke dalam bahasa Arab dan di sempurnakan untuk kepentingan keilmuan umat Islam dikelompokan dalam Al-Ulumud Dakhilah yang terdiri dari :
1.    Ilmu Kima. Khalifah Yazid bin Yazid bin Mua'wiyah adalah yang menyuruh penerjemahannya ke dalam bahsa Arab.Beliau mendatangkan beberapa orang Romawi yang bermukim di Mesir, di antaranya Maryanis seorang pendeta yang mengajarkan ilmu kimia. Penerjemahan ke dalam bahasa Arab dilakukan oleh Isthafun.
2.    Ilmu Bintang. Masih dalam masa Kholid bin Walid, beliau sangat menggemari ilmu ini sehingga dikeluarkan sejumlah uang untuk mempelajari dan membeli alat-alatnya. Karena gemarnya setiap akan pergi ke medan perang selalu dibawanya ahli ilmu bintang.
3.    Ilmu Kedokteran. Penduduk Syam di jaman ini telah banyak menyalin bermacam ilmu ke dalam bahasa Arab seperti ilmu-ilmu kedokteran, mislanya karanganm Qis Ahrun dalam bahasa Suryani yang disalin ke dalam bahasa Arab oleh Masajuwaihi.






















BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. KESIMPULAN
Pemerintah dinasti Umayyah menaruh perhatian dalam bidang pendidikan. Memberikan dorongan yang kuat terhadap dunia pendidikan dengan penyediaan sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan agar para ilmuan, para seniman, dan para ulama mau melakukan pengembangan bidang ilmu yang dikuasainya serta mampu melakukan kaderisasi ilmu. Setelah sistem Monarki diberlakukan, maka secara otomatis pemilihan raja didasarkan atas garis keturunan. Ini mengakibatkan munculnya pendidikan istana. Untuk mengimbangi dengan tantangan dari Negara Barat, maka pemerintah tidak hanya memfokuskan pelajaran terhadap pelajaran agama Islam saja. Akan tetapi, pemerintah pada saat itu telah memeulia kegiatan penterjemahan terhadap buku-buku yang dikarang oleh orang barat.

3.2. SARAN
Karena makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu pemakalah minta saran dan kritikan dari saudara dan Bapak Dosen pembimbing demi kesempurnaan makalah ini.






DAFTAR PUSTAKA
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1992.
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1967.
Syu’aib, Yusuf, Sejarah Daulah Umayyah 1, Jakarta, Bulan Bintang, 1997.
Langgulung, Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad-21, Jakarta, Pustaka Al Husna, 1980.
Yunus, Mahmud., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, PT. Hida Karya Agung, 1981.
Nizar, Samsul, Sejarah Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, PT. Cuputat Press Group, 2005.
Al Abrasi, Athiyya, Tarbiyah Al Islamiyah, Terjemahan Bustami A. Ghani, Jakarta, Bulan Bintang, 1993
Fahmi, Asma Hasan, Mabadi’at Tarbiyyah Al Islamiyyah, diterjemahkan oleh Mukhtar Yahya dan Sanusi Latif, Jakarta, Bulan Bintang, tth.
Salabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang.
Chalil, Munawar, Empat Biografi Imam Mazhab, Jakarta, Bulan Bintang, 1989.
Suwedi, Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
http://akitephos.wordpress.com/sejarah-pendidikan-Islam/



[29][1] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1992, h. 7
[30][2] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1967, cet ke-2
[31][3] Yusuf Syu’aib, Sejarah Daulah Umayyah 1, Jakarta, Bulan Bintang, 1997, h. 13
[32][4] Ibid, h.14
[33][5] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad-21, Jakarta, Pustaka A


MASA KEEMASAN BANI ABBASIYAH
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas Rahimahullah. Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s/d. 656 H (1258 M).
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:
  1. Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
  2. Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
  3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
  4. Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
  5. Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator dari kementrian yang ada, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus dan India.
Pada masa al-Manshur ini, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata:
Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)
Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun. Disamping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar tahta", seperti al-Manshur, dan belakangan gelar tahta ini lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma'mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli (wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah). Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tasim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindiq di Persia, gerakan Syi'ah, dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Disamping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.
  1. Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
  2. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
  3. Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
  1. Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
  2. Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
  1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
  2. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat memengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam madzhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah Rahimahullah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun Ar-Rasyid. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik Rahimahullah (713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi'i Rahimahullah (767-820 M), dan Imam Ahmad ibn Hanbal Rahimahullah (780-855 M) yang mengembalikan sistem madzhab dan pendapat akal semata kepada hadits Nabi serta memerintahkan para muridnya untuk berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran Islam dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab. Disamping empat pendiri madzhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak para mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan madzhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran sesat yang sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah pun ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy'ari sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farghani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi dan Ibnu Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibnu Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat, yang terkenal di antaranya ialah asy-Syifa'. Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme. Pada masa kekhalifahan ini, dunia Islam mengalami peningkatan besar-besaran di bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar pada masa ini adalah diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani, Persia, dan Hindustan.
Banyak golongan pemikir lahir zaman ini, banyak di antara mereka bukan Islam dan bukan Arab Muslim. Mereka ini memainkan peranan yang penting dalam menterjemahkan dan mengembangkan karya Kesusasteraan Yunani dan Hindu, dan ilmu zaman pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani yaitu Aristoteles terkenal di Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini menyaksikan penemuan ilmu geografi, matematika, dan astronomi seperti Euclid dan Claudius Ptolemy. Ilmu-ilmu ini kemudiannya diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam seperti Al-Biruni dan sebagainya.
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama, namun setelah periode ini berakhir, peradaban Islam juga mengalami masa kemunduran. Wallahul Musta’an.



































0 komentar:

Posting Komentar

 

herlysusantii*aseekaseek © 2012 | Designed by Tagamet for warts

Thanks to: No Deposit Casino Bonus, Spielautomaten and Bajar de peso